Malam Kejujuran

7.6K 704 100
                                    

Apa nanti jika kamu hilang aku bisa meminta kepada Bunda agar menemukan kamu untuk kedua kalinya?

-Assalamualaikum Ketua Rohis-

-----

Dua jam setelah insiden pecahan botol itu sekarang aku sudah duduk dengan tenang dalam kamar. Bukan tenang, tapi berusaha tenang sebab arah pandangan Raka yang terus menatap lurus seakan sedang membidik sasaran anak panahnya. Tajamnya jangan ragukan lagi, jadi semakin merinding aku bagaimana wajah Raka jika sedang marah dalam rapat rohis.

Tadi sesampai di rumah Papa langsung membawa aku dan Aida ke puskesmas terdekat. Baru masuk dalam halaman rumah, Mama sudah menjerit heboh ketika melihat syal Raka berlumur darah dari kaki ku.

"Apa sih?" Jengah ku saat posisi ku dan Raka hanya terus dalam kebisuan.

Ia mengangkat bahu acuh dan langsung menatap kaki ku yang sudah terlilit perban.

Pria di hadapan ku masih enggan menyuarakan sebuah kalimat. Jika di pikir aku ini lagi sakit, bukannya orang sakit itu selalu di tanya ingin apa? Ini kenapa Raka tidak menanyai ku. List keinginan dalam otak sudah aku buat, anggap saja aku ini penganut prinsip kesempatan dalam kesempitan.

Reyna hebat bukan?.

"Rey, ini makan siang dulu. Kamu tidak sarapan jangan lewatkan makan siang lalu minum obatnya" seru Mama yang datang sambil membawa nampan.

Aku mengangguk sembari tersenyum kepada Mama mertuaku tapi seperti Bunda ku sendiri. Raka langsung bergegas berdiri dan mengambil alih nampan dari tangan Mama. Ia meletakan di atas meja tepat samping lampu tidur.

Setelah itu Mama kembali keluar dan kembali tinggal aku berdua bersama Raka. Kembali juga keheningan itu lagi-lagi terasa.

"Kamu puasa bicara atau gimana?" Kesal ku sendiri melihat Raka berdiam diri seperti itu. Kalau begini ceritanya aku lebih ikhlas Raka marah sampai telinga ku penuh wejangan dari pada aku berpikir sendiri apa yang salah dan apa yang harus aku lakukan.

"Kamu makan" dua kata pertamanya saat tiba dalam kamar.

Diam-diam aku mengukir senyum, menatap Raka yang sekarang menyodorkan piring makan ke arah ku.

"Aku ngak mau makan sendiri, kamu juga belum makan"

"Jangan keras kepala, Rey"

"Kalau kepala ngak keras itu bahaya, Raka"

"Sakit" aduh ku cepat.

Astaga, jangan berharap Raka akan bertanya aku ingin apa, justru dia menyentil kepala ku dengan sangat ikhlas.

"Kamu bilang kepala keras aku cuman mau tau sekeras apa kepala kamu"

Alasan macam apa itu? Biasanya dia mengelus kepala ku tapi saat aku sakit dia justru menyentil.

"Hukuman" ujarnya tiba-tiba.

Raka mengatakan itu tapi sama sekali tidak memandang ku. Justru sekarang ia hanya sibuk memisahkan kulit udang dan menaruh sampahnya di atas nampan.

"Aku kan tidak buat salah? Aku sudah cerita kalau aku tidak main pecahan botol"

Bersama dengan selesainya Raka menyiapkan makanan dia mengangkat kepala dan menatap aku. Setidaknya sekarang tatapan itu tak setajam diawal tadi.

"Tapi kamu selalu ceroboh. Ingin membantu justru kamu semakin merepotkan"

Merepotkan?.

"Yang mau sama Raka itu banyak. Dia ganteng, sholeh, pintar, baik, bertanggung jawab, mandiri, dan masih banyak kelebihan lainnya. Sementara kamu aku lihat kekanak-kanakan dan hanya bisa mengeluh kepada Raka tanpa kamu bertanya apa Raka juga punya masalah"

Assalamualaikum Ketua Rohis (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang