Boleh saya awetkan kenangan manis hari ini?
Tapi saya tidak ingin kamu tau kalau diam-diam saya menyimpannya.-----
Kurang dari setengah jam lagi waktu Dzuhur akan tiba. Akhirnya setelah menempuh perjalanan mobil lima jam kami sekeluarga tiba di Bandung.
Kesan pertama tentu saja sejuk. Perbandingan antara Bandung dan kota metropolitan sangat terasa. Udara cukup dingin sangat beda jauh dengan Jakarta yang panas.
Saat sampai aku yang setengah ngantuk ini langsung hilang kantuknya. Maklum habis makan cemilan yang tidak terhitung berapa bungkus bersama Qeiza.
Semalam sebelum pulang ke rumah aku dan Raka menyempatkan diri membeli beberapa cemilan untuk perjalanan. Ternyata sampai rumah Mama juga membeli cemilan. Jadinya ada begitu banyak kantong hanya berisi makanan di atas mobil. Dan 90% yang menghabiskan hanyalah aku berdua dengan Qeiza. Untuk Raka, dia irit bicara ternyata irit makan juga.
Sekarang aku paham kenapa seorang Raka masih muda sudah memiliki tabungan yang sangat lumayan dan bisa mendirikan kafe. Itu karena dalam jiwa Raka apapun di buat hemat.
Suamiku, ketua rohis, paket plus pangeran Dubai lokal.
"Rey, ayo masuk" panggil Raka yang sedang sibuk menarik koper aku dan koper miliknya.
Jangan tanya kenapa aku tidak ingin satu koper dengan pria itu. Alasannya karena setiap aku memberitahu dia akan membawa apa maka Raka selalu berkata "kenapa tidak sekalian lemari pakaian kamu yang dimasukin ke mobil". Kan, dia selalu saja mengejek.
Ayah, Mama, dan Qeiza sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah kakek. Qeiza sudah membaik dan gadis kecil itu langsung semangat saat tau akan liburan.
Sedangkan aku jalan beriringan dengan Raka. Ingatkan semalam ia mengatakan tidak ingin kami berpisah. Yah termasuk jalan juga harus beriringan mungkin.
"Astaga, Raka" jerit ku tertahan saat melihat halaman rumah kakek Raka. "Tanamannya banyak, boleh tidak nanti aku bawa pulang ke Jakarta?" Tanya ku sangat antusias kepada Raka.
Raka sempat mengamati halaman rumah kakek Yamin dan setelahnya ia melihat ke arah ku.
"Belum masuk rumah, belum sejam di sini, kamu sudah mau oleh-oleh" di ejek lagi.
Aku berdecak sebal mendengar penuturan Raka. Bibir ku mengerucut dan sambil berjalan masuk ke rumah aku menghentakkan kaki seperti Qeiza saat habis di buat menangis oleh kejailan Raka.
Raka jarak lima langkah di belakang ku justru tertawa. Aku jadi tambah tau bahwa Raka suka sekali menggoda ku sekaligus mengejek. Dan sebalnya aku selalu kalah karena tidak bisa membalas apa yang dia ucapkan.
"Assalamualaikum" salam ku saat tiba di ambang pintu.
Ku lihat Mama dan Ayah sudah duduk di ruang tamu ditemani oleh pria paruh baya yang aku yakini itulah kakek Yamin. Kakek Raka dan Ayahnya Mama. Meski sudah berumur tapi beliau memiliki kulit putih bersih dan dimataku masih ganteng.
"Waalaikumsalam" Kakek Yamin menjawab salam ku dan aku mendekati beliau.
Menyalimi tangannya dan Kakek Yamin mengelus puncak kepala ku.
"Akhirnya ketemu juga cucu kakek yang satu ini" katanya sembari tertawa.
Aku juga tertawa. Sempat semalam aku berpikir bagaimana jika Kakek Raka ini tidak ramah. Aina sering menceritakan kakek dan neneknya yang sangat tradisional. Kakek dan Neneknya yang berasal dari Solo ketika datang maka Aina harus menjadi perempuan sangat feminim. Memakai rok, pagi-pagi membuat teh, atau jadi tukang pijat beberapa saat. Yah walaupun katanya ada enaknya juga karena mereka sangat terbuka dalam memberi uang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Ketua Rohis (SELESAI)
Horror"Jodoh itu cerminan diri. laki-laki baik untuk perempuan baik, begitupun sebaliknya" sebuah kutipan yang aku ingat dari ucapan Pak Anwar. Benarkah? Lalu bagaimana ceritanya aku yang untuk label "salehah" ini masih perlu dipertanyakan bisa menikah de...