Maaf, untuk menempatkan mu pada posisi kedua.
-Assalamualaikum Ketua Rohis-
-----
Kulit ku mulai kembali beradaptai dengan cuaca panas Jakarta. Sambil berjalan di belakang Raka aku memperbaiki jilbab instan abu-abu ku. Tepat ketika pintu rumah sudah Raka buka aku juga menghentikan laju jalan ku bersama tangan ku yang tak lagi sibuk membenahi jilbab.
"Hati-hati, sampai sana kabari aku yah" kata ku, ah, aku langsung sadar mengapa terkesan protektif. Sepertinya sikap Raka yang ini juga mulai menular kepada aku.
Ia mengangguk sebentar dan tentu saja senyum manis seorang Raka yang selalu mampu membuat ku masuk IGD tiba-tiba juga ia sertakan.
"Kamu punya jadwal hari ini? Tidak ingin pergi dengan Aina?" tanya Raka lagi. Pria itu sudah menanyai ku sebanyak tiga kali.
ku hembuskan nafas lelah. Raka, Raka. Apa perlu aku menulis sebuah note lalu ku tempel pada kening ku bahwa hari ini Reyna akan menjadi istri rumah tangga full time.
"Tidak ada bapak Raka terhormat" kata ku dengan penekanan berharap tidak membuat Raka kembali bertanya.
"Yasudah kalau begitu aku pergi. Wassalamualaikum"
"Waalaikumsalam" jawab ku.
Jika dalam sinetron yang sering Bunda ku nonton dulu, ketika seorang suami akan pergi pasti istri akan mencium tangan suami. Lalu aku? aku malah memberinya lambaian tangan. Jangan pikir aku akan melakukan adegan seperti itu. Astaga, membayangkannya saja sudah membuat aku geli sendiri. Terlalu dramastis menurut aku, mungkin karena usia kami masih muda.
Baru kaki Raka turun dari teras rumah ia kembali menoleh ke arah ku. Jangan pula berpikir menolehnya seorang Raka akan mirip adegan romantis dalam sinetron atau novel-novel picisan. Jangan berharap Raka akan berkata "belum pergi aku sudah rindu kamu" itu sangat jauh dari ekspektasi.
Nyantanya seorang Raka menoleh ke belakang karena sebuah mobil Xpander hitam tiba-tiba berhenti di depan rumah. Dan orang yang turun dari mobil tersebut adalah Gandhi.
Gandhi? tidak salah ia bertamu jam 7 pagi dan tolong jangan sampai adu sindir-sindiran seperti biasa. Tidak bisa apa pria itu datang saat Raka telah berangkat ke kafe agar mereka tidak perlu bertatap wajah dan aku tidak perlu merasakan suasana menegangkan setiap kami dalam linglar takdir bertiga.
Ku hembusan nafas gusar lalu berjalan menuju Raka. Sementara Gandhi ia sudah masuk dalam halaman rumah dengan wajah penuh senyum cerianya. Wajah datar Raka cukup menjelaskan bahwa aku harus kembali masuk jeratan suasana paling tidak enak.
"Mau kemana lo?" tanya Gandhi kepada Raka dengan gaya bicara Gandhi yang sangat santai.
"Seharusnya saya yang bertanya mau apa kamu kemari di jam 7? Ini masih terlau pagi untuk bertamu" nah kan, benar kan, mereka kembali lagi berulah.
Gandhi tertawa renyah seakan kami sedang bercanda. "Gue pikir 2020 sudah buat lo berhenti jadi manusia resmi, nyatanya ngak." Gandhi mengangkat bahu acuh di akhir kalimatnya. "Gue mau jemput Reyna makannya gue datang pagi. Kalimat gue cukup sebagai jawaban?"
Astaga, Ya Tuhan. Boleh tidak mulut Gandhi dapat settingan untuk tidak asal bicara? mata ku sudah membulat kaget ketika mendegar Gandhi berucap hal tadi.
Telapak tangan kanan ku langsung memegang jantung. Dapat aku rasa debaran jantung ku sangat kencang ini pasti karena aku yang tiba-tiba takut kepada Raka.
"Apa tadi aku yang salah dengar jawaban kamu atau kamu yang lupa tentang jadwal kamu hari ini?" ini Raka bertanya dengan intonasi seperti biasa tapi mengapa aku merasa ter-intimidasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Ketua Rohis (SELESAI)
Horror"Jodoh itu cerminan diri. laki-laki baik untuk perempuan baik, begitupun sebaliknya" sebuah kutipan yang aku ingat dari ucapan Pak Anwar. Benarkah? Lalu bagaimana ceritanya aku yang untuk label "salehah" ini masih perlu dipertanyakan bisa menikah de...