Kamu yang terlalu banyak menutupi atau aku yang terlalu banyak ingin tau?
-Assalamualaikum Ketua Rohis-
-----
"Jangan di bantu, Rey. Biar saja dia obati sendiri" canda Mbak Astrid saat aku sudah ingin membantu Raka.
Raka ternyata jago manjat pohon. Ayah sempat cerita Raka waktu kecil bisa dikatakan penjaga pohon mangga di halaman rumah kakek. Setiap datang dia pasti selalu di atas pohon. Saat ada mangga ataupun tidak. Kata Raka waktu kecil di atas itu segar, tidak ada matahari, dan angin sentiasa menyapa.
Tapi bukan itu masalahnya. Kalimat ku mengatakan Raka nanti jatuh tidak terjadi. Tapi justru pria itu di kerumuni semut merah sesaat dia telah menjatuhkan buah mangga.
Jujur ketika dia mengeluh dan turun dengan sangat cepat dari pohon aku justru tertawa. Dan ia melihat ku tajam karena terus menertawakan dirinya. Sekali-kali aku harus bahagia karena sangat jarang aku mendapat momen yang bisa menertawakan seorang ketua rohis famous itu.
"Loh, gitu yah Mbak? Kan Reyna juga sudah bilang ke Raka jangan manjat tapi keras kepala. Berarti salah sendiri obatin juga sendiri" kata ku sepakat dengan perkataan Mbak Astrid.
Mbak Astrid yang tengah duduk di kursi rotan bersama Mama mengacungkan dua ibu jari. Ia memberi ku jempol karena telah mendukung argumennya tadi.
"Astrid cucu ku datang kamu malah gituin" bela Kakek Yamin. Wah, ternyata Raka anak kakek ini.
Aku, Mama, dan Mbak Astrid tertawa saat Raka mendapat pembelaan dari Kakek. Dan Raka dengan semangat menunjukan senyum mengejek ke arah ku.
Pria itu sendiri yang membuat jengkel, aku jadi tambah tidak ingin membantunya.
"Rey, nanti kamu harus baik ke Raka" ucapan Bunda sehari sebelum kami menikah.
Perkataan Bunda yang tiba-tiba aku ingat justru membuat aku berjalan ke arah Raka. Mau bagaimanapun di luar penilaian siapa salah dan siapa benar aku tetap berkewajiban membantu Raka. Apalagi pria itu anak kesayangan Bunda ku. Jika Bunda tau bisa panjang lebar Bunda mengomel saat menelfon nanti.
Tidak, tidak. Aku lagi ingin cuti dari mendengar ceramah.
"Makannya nanti ngak usah lagi manjat pohon"
"Kalau aku ngak manjat mana bisa kita makan rujak sekarang"
Aku sudah mengeram sebal untuk Raka. Ada saja argumen yang dia katakan.
"Sakit, Reyna" adu Raka.
Melihat dia mengelus punggung tangannya aku menahan tawa. Habis mengoleskan minyak dari Kakek Yamin di seluruh lengan Raka tergigit semut dengan kencang aku memukul punggung tangan pria itu. Hitung-hitung hukuman atas tingkah dia.
Memangnya hanya dia yang bisa memberi hukuman? Kalau Raka dengan sentilannya, maka Rey a dengan pukulannya.
Dia menatap dengan wajah tidak terima tapi juga tidak marah. Lebih galak wajah dia kalau marah karena aku melakukan sesuatu tanpa izin. Ingatkan, Raka ini laki-laki pilihan Bunda paling sabar. Aku pukul seperti itu saja tidak ada lagi kata protes selain awal tadi.
Setelah memastikan semua bagian terkena gigitan semut sudah diobati, aku meninggalkan Raka bersama keluarga lain diteras rumah. Menuju ke dapur untuk membuat bumbu rujak sesuai permintaan Raka tadi. Kalau mangganya tidak kami makan, sia-sia pengorbanan Raka manjat sampai kulit memerah di gigit semut.
Bumbu rujak bahannya sangat sederhana. Cukup sepuluh menit membuat maka menit berikutnya sudah dapat di nikmati.
Saat aku kembali ke teras ternyata keadaan sudah berubah. Ayah dan Kakek Yamin sudah tidak duduk di kursi rotan. Mereka aku lihat berbincang dengan dua orang bapak-bapak seumuran Ayah di pagar rumah Kakek. Sementara Mama, Mbak Astrid, dan Qeiza juga sudah tidak aku lihat lagi keberadaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Ketua Rohis (SELESAI)
Horror"Jodoh itu cerminan diri. laki-laki baik untuk perempuan baik, begitupun sebaliknya" sebuah kutipan yang aku ingat dari ucapan Pak Anwar. Benarkah? Lalu bagaimana ceritanya aku yang untuk label "salehah" ini masih perlu dipertanyakan bisa menikah de...