Apakah hati setiap manusia memang ter-instal dengan seperti ini?
Ada kala nya ia merasa perasaannya tidak dapat terdefinisi?
Atau hanya hati ku saja yang salah?-Assalamualaikum Ketua Rohis-
-----
Lima menit dalam keheningan. Kami cuman duduk tanpa tau akan melakukan apa, namun aneh nya suasana ini terasa nyaman.
Untungnya waktu sedang memihak, memberi waktu untuk aku dan Gandhi berdua lebih lama dengan rapat guru yang masih berlangsung.
Mungkin kami sedang larut dalam suasana menikmati waktu bertemu kembali. Rasanya aneh ketika kembali bertemu Gandhi disaat sebesar ini padahal terakhir kami bertemu sewaktu kelas lima SD.
Aina yang sedari tadi mengeluarkan segala amarah kepada Bagas karena sibuk menyuruh Aldo untuk mengeluarkan alunan romantis dari petikan gitar untuk nya. Bahkan kebisingan mereka bertiga di bawah pohon tidak menggangu bagi aku dan Gandhi yang sedang duduk pada bangku pohon. Mereka memisah dari kami, mungkin sadar ada sesuatu yang tidak perlu mereka kaji tentang aku dan Gandhi.
Dulu angan ku ketika bertemu pria di samping ku kembali adalah ingin bercerita panjang lebar. Ada banyak kejadian yang ingin aku utarakan, aku ingin ceritakan petualangan ku selama tujuh tahun tanpa dia. Sosok yang sudah menemani sejak kecil. Nyatanya angan ku berhembus tertiup angin, tidak ada cerita panjang yang sudah jauh hari aku rangkai. Yang ada hanya keadaan hening tanpa sebuah pembicaraan.
"Waktu itu Bunda beri kabar Mama satu pekan sebelum kamu menikah. Aku kaget, Rey. Saat itu juga aku ingin langsung pulang ke Indonesia tapi kondisi tidak mendukung. Papa sudah dua tahun berlayar dan Mama masih masa pemulihan yang masih perlu check up ke rumah sakit. Tidak mungkin aku tinggalkan Mama hanya berdua dengan Ghania" Gandhi mulai bercerita, mungkin sedang mengutarakan apa yang ia rasa setelah mendengar pernikahan aku "maaf, Rey. Aku tidak menepati janji untuk selalu ada dalam kondisi apa pun" ini lah Gandhi laki-laki yang sedari dulu mementingkan aku, bukan nya marah atau meminta kejelasan mengapa aku menikah ia justru meminta maaf untuk sesuatu yang bukan salah nya.
"Kamu ngak salah. Justru aku berterimakasih orang gila kayak kamu ini sudah datang di waktu akan ujian" masih ada rasa kesal ku untuk Gandhi.
Ia tertawa, seakan kami sedang bercanda seperti saat masih kecil. Menikmati waktu berdua di teras rumah ku atau di teras rumah nya. Bermain mobil-mobilan dan boneka Barbie ku yang jadi penumpang. Masa kecil ku yang berwarna karena ada nya Gandhi.
"Maaf, Gandhi. Waktu kamu pindah aku marah karena kamu pindah tanpa bilang dulu. Kenapa tidak cerita kalau Mama kamu sakit jadi harus ke Singapura untuk tinggal?"
Aku masih ingat betul hari itu, ketika menunggu Gandhi yang biasa nya rajin menjemput ku ke sekolah namun untuk hari itu ia terlambat. Aku memutuskan pergi ke rumah nya, bukan sapaan "Rey, kenapa ke sini? Kan Gandhi yang harus nya jemput Reyna" biasa nya ia akan mengomel jika aku yang jemput. Tapi waktu itu sapaan yang dia berikan "Gandhi mau pindah rumah. Reyna ke sekolah sendiri dulu yah" dan itu sangat membuat sedih.
"Hey, kamu lupa waktu itu kita sama-sama bocah kecil dan aku juga tidak tau Mama sakit. Jadi apa yang harus aku jelaskan waktu itu?"
Benar juga pasti Gandhi sama dengan ku yang tidak mengerti urusan orang dewasa kala itu. Harusnya aku berpikir logis bukan malah marah bertahun-tahun kepada pria yang sedang tertawa renyah karena selalu berhasil membuat aku kesal.
Lagi, hening menyapa kami berdua. Seingat ku jika Gandhi tak banyak bicara seperti sekarang ia sedang merangkai kalimat serius dalam otak nya itu. Mungkin mengapa aku punya kebiasaan berpikir itu karena aku bergaul dengan Gandhi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Ketua Rohis (SELESAI)
Horror"Jodoh itu cerminan diri. laki-laki baik untuk perempuan baik, begitupun sebaliknya" sebuah kutipan yang aku ingat dari ucapan Pak Anwar. Benarkah? Lalu bagaimana ceritanya aku yang untuk label "salehah" ini masih perlu dipertanyakan bisa menikah de...