Iya, sepertinya aku perlu menganggap kamu tidak ada untuk sementara waktu.
-Assalamualaikum Ketua Rohis-
-----
Pagi pertama kami di Bandung. Aku terus mengelilingi rumah Kakek Yamin melalui pengamatan mata dengan seksama.
Ku tau rumah ini masuk dalam tipe minimalis. Halaman depan dan belakang luas, dan tentu sangat rindang.
Selepas sarapan pagi bersama kami semua menghabiskan waktu di halaman belakang. Kecuali Om Harto yang harus kembali masuk bekerja.
Ada beraneka ragam tanaman di sini. Mulai dari singkong di tanam dua baris, pohon pepaya, sayur-sayuran, dan juga air mancur mini dengan ikan koi kecil.
"Rey, katanya mau temani kakek mancing" panggil Kakek Yamin membuyarkan lamunan ku.
Aku melihat Kakek Yamin yang sudah sejak sejam lalu bergelut dengan pancingan bersama Ayah dan Raka.
Ku pikir ucapan kakek Yamin kemarin itu bercanda. Atau kami akan di bawa ke sungai dekat rumahnya. Nyatanya tempat memancing yang kakek maksud ada di halaman rumah beliau sendiri.
Sebuah kolam ikan. Bukan ukuran 2 × 2 meter seperti kolam ikan Gandhi. Tapi kali ini kolam ikan dengan ukuran 6 × 4 meter milik kakek. Besar sekali. Dan dalamnya aku tidak tau.
Adanya kolam tersebut juga di dukung oleh pekerjaan Om Harto yang ternyata dari jurusan perikanan. Beliau kerja di salah satu penampungan ikan sebagai pengawas dan pegawai negeri.
Aku bergegas mendekati Kakek Yamin di pinggiran kolam. Ketika sampai aku duduk di samping Raka yang saat aku datang dia sempat melirik. Hanya sekilas lalu menikmati kembali kegiatan memancingnya.
"Kek, ikannya habis di tangkap mau di apa?" Tanyaku penasaran.
"Mau di bakar"
"Loh beneran? Kakek mau makan? Ngak sayang ikannya padahal kan kakek yang ngerawat"
Pertanyaan ku kali ini di sambut tawa pendek dari Kakek dan Ayah. Padahal aku cuman bertanya jujur. Maksudnya jika aku yang merawat ikan tersebut mungkin tidak bakalan sanggup aku memakannya. Yah mungkin karena jiwa ku yang terlalu melankolis.
"Sudah takdirnya, Rey" jawab Ayah dengan sisa tawa.
Iya benar juga takdirnya. Tapi maksud ku apa tidak ada hubungan batin di antara mereka? Astaga. Mau memakan ikan saja aku sangat ribet.
"Kakek ngak seperti kamu yang tanamannya mati langsung nangis"
Tidak perlu aku katakan suara siapa itu. Sudah tentu suami ku pemilik sifat paling serius dalam keluarga. Raka.
Aku mendengus sebal mendengar perkataannya. Padahal aku tidak mengganggunya tapi malah aku kena ejekan. Ini benar-benar tidak adil.
"Kalau Reyna nangis gara-gara tanamannya mati kan berarti dia cinta alam. Satu tanaman mati itu berarti bumi kehilangan tenaga kerja yang berfungsi menyaring karbondioksida dan zat-zat kotor seperti polusi agar udara bersih" wejangan Kakek Yamin.
Tentu saja aku tertawa tanpa suara disamping Raka. Dia juga melihat ku dan aku menunjukan seringai bahwa aku menang kali ini karena mempunyai sekutu baru.
"Raka ini harus berjiwa lebih romantis toh Ayah?" Lagi Ayah mengompori Kakek Yamin agar menambah wejanagan untuk Raka.
Jika Bunda dan Ayah ku sudah Raka rampas untuk menjadi sekutunya maka aku juga merampas keluarganya sebagai sekutu ku. Ini baru adil kan?.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Ketua Rohis (SELESAI)
Horror"Jodoh itu cerminan diri. laki-laki baik untuk perempuan baik, begitupun sebaliknya" sebuah kutipan yang aku ingat dari ucapan Pak Anwar. Benarkah? Lalu bagaimana ceritanya aku yang untuk label "salehah" ini masih perlu dipertanyakan bisa menikah de...