Bab 7. 지민 (Jimin)

3.3K 393 14
                                    

Jimin menghilang.

💎💎💎

Bel masuk telah berbunyi, aku tidak datang terlambat karena Mr. Kim mengantarku pakai Hyundainya. Aku tidak sempat pergi ke kelas Jimin, tidak juga berjumpa dengannya. Mata pelajaran telah dimulai dan aku menunggu bel istirahat agar bisa bertemu dengan Jimin. Aku sempat disuruh untuk pergi ke ruang kesiswaan saat bel istirahat berbunyi oleh si ketua kelas. Tapi sebelum pergi kesana aku berlari ke kelas Jimin.

"Apa kau lihat Jimin?" aku menanyai siswa yang duduk di sebelah kursi Jimin ketika aku tidak dapat menemukannya.

Siswa yang aku lupa siapa namanya itu mengerutkan keningnya, "Kau tidak tahu? Dia pindah, empat hari yang lalu."

"Hah??" aku terkejut. Tak bisa berkata.

"Bukankah kau pacarnya? Atau kalian sudah putus? Masa tidak tahu."

Aku mengepalkan tanganku, menahan emosi yang hampir memuncak. "Beritahu aku apa yang kau tahu."

"Well, Ayah Jimin telah menjadi Dewan Perwakilan di Pemerintahan, mereka pindah ke pusat kota. Jimin juga otomatis dia pindah kesekolah yang lebih bergengsi dari sekolah jelek kita. Pantas-pantas saja sih, dia kan pintar." Jelasnya.

"Apa kau punya nomornya?" aku benar-benar harus menelphone Jimin.

"Ya,"

"Pinjamkan handphonemu." Kalau dia tidak mengangkat telphone dariku, dari temannya ini pasti dia akan mengangkatnya.

"Kau akan menelphonenya? Percuma, dia jadi sombong sekarang." Dia memberikanku handphonenya.

Aku menelphonenya dan bertanya satu kali padanya, "Apa dia tidak mengangkat telphonemu juga?" tanyaku.

"Telphone semua orang, kecuali guru atau kepala sekolah mungkin. Kami juga tahu-tahu dia pindah karena wali kelas mengumumkannya di kelas. Dia benar-benar jadi sombong. Hah, biasalah masalah politik. Orangtuanya pasti tidak mau dia berteman dengan kami."

Jimin benar-benar tidak mengangkat telphonenya, aku berikan kembali handphone milik teman Jimin yang baru aku baca papan namanya. "Ini, terimakasih Hoseok."

"Dia tidak mengangkatnya ya?" aku mengangguk saja, dia menatap kasihan padaku. "Apa kalian benar-benar sudah putus? Aku pikir kau ikut pindah, ku dengar kau juga bolos sekolah."

Aku ingin sekali menangis, tapi tidak di depan mantan temannya Jimin ini. "Tidak, belum. Dia tidak mengabari apapun padaku."

"Oh, brengsek sekali dia. Pada pacarnya sekali pun?!" Hoseok berdiri, dia menepuk bahuku "Sabar ya, aku tidak tahu lagi harus mengatakan apa. Aku pikir kau mungkin tahu dan terpukul jadi tidak sekolah juga."

"Aku bolos bukan karena dia, tapi ibuku meninggal. Aku bersedih atas kepulangannya pada Tuhan yang begitu cepat." Kataku.

Wajah Hoseok terkejut, dia kaku dan canggung ketika melihat mataku yang berkaca-kaca. "Aku turut berduka." Dia begitu tulus saat mengatakan hal ini. "Semoga ibumu tenang di surga."

Ini pertama kalinya aku mendengar ucapan duka dari orang lain. Bukan dari Jimin yang aku harapkan. "Terimakasih, Hoseok." Aku yakin dia orang baik.

.

Pulang-pulang aku menubruk Mr. Kim. Memeluknya erat dengan isak tangis yang selama pelajaran aku tahan-tahan. Mr. Kim yang berdiri di sisi pintu mobil itu mengusap kepalaku.
"Apa yang terjadi?"

Aku masih menangis, mengabaikan siswa atau siswi lain yang berlalu lalang pulang menuju rumah mereka.
"Ji-jimin pergi.., dia pergi tanpa mengabariku.."

***

Mr. Kim membawaku pulang, aku tidak berhenti menangis. Mr. Kim kewalahan menghentikan tangisanku, dia sudah menasehati, membuat lelucon payah tapi aku masih menangis di ranjang.

"Jae, aku harus apa agar kau berhenti menangis?" Mr. Kim berjongkok di sisi ranjangku, dia mengusap puncak kepalaku.

Aku tidak membalasnya.

"Jae, apa aku harus berlarian disekelilingmu agar kau berhenti?" aku memukul bahunya, "Aw, hei~"

"Berhenti membuat lelucon." Aku membuka selimbut dari wajahku. "Kau tidak cocok, tidak lucu."

Mr. Kim terkekeh, "Lalu aku harus apa?"

Sebelum aku menjawab, handphonenya berbunyi. Dia mengangkatnya dan berjalan menjauh dariku.

"Batalkan saja, aku sibuk, atur rapatnya jadi besok Park."

Aku hanya mendengar itu ketika dia mengangkat telphonenya. "Siapa?" tanyaku, aku duduk di ranjang mencoba untuk tidak menangis lagi. "Kenapa nama marganya Park?"

Mr. Kim mengerutkan keningnya, "Dia rekan kerjaku. Memangnya kenapa? Namanya memang Park Chanyeol."

"Aku ingat pada Park Jimin~"
Aku menangis lagi. Mr. Kim menghela napas. Dia membawaku pada pelukan yang menyesakkan, sengaja mengubur wajahku di perutnya. Aku bergumam tidak jelas, sesak sulit untuk bernapas.

"Sudah, jangan menangis lagi. Kau harus kuat, kalau perempuan cengeng begini mana bisa jadi wanita karir." Kedua tangannya di belakang kepalaku, menekan wajahku di perutnya yang berbentuk. Aku mengigitnya agar dia lepaskan kepalaku. "Akh, Jae!"

Aku tertawa, perutnya yang berotot itu aku gigit. Kancing kemejanya sampai lepas dua biji. "Suruh siapa menekan wajahku di perutmu. Sesak tahu! Haha, rasakan saja."

Wajahnya mengeluh, dia tengok perutnya yang berbekas gigitanku, tercetak jelas tanda gigiku di bagian kotak-kotaknya. "Kau.., ini sakit." Wajah merengutnya lucu sekali, aku terkekeh saja melihatnya. Dia melirikku dan menggeleng tidak menyangka pada apa yang aku perbuat padanya. "Aku senang kau tertawa, tapi aku menderita sekarang. Kau mengigit perutku seperti mengigit roti."

"Hehe, dua-duanya rasanya enak." Kataku.

"Shit." Mr. Kim membiarkan kemejanya tanggal, dia bertelanjang dada di depanku dan mencari baju di lemarinya.

"Kau sengaja memamerkan tubuh bagusmu, Mr. Kim?" aku melompat dari ranjangnya, dan ikut membantu dia memilihkan baju. Aku bawa kaos polos berwarna biru muda yang berada di lipatan terakhir, itu membuat beberapa baju diatasnya terjatuh. Mr. Kim berjongkok untuk membereskannya.

"Apa yang kau lakukan?"

Aku memasukkan celah baju di kepalanya, "Membantumu memakaikan baju. Jangan pakai kemeja lagi, aku bosan melihatmu pakai kemeja melulu."
Mr. Kim berdiri dan mataku dihadapkan pada dadanya yang telanjang. Tapi secepat kilat kaos itu turun menutupi badannya.

"Kemari," dia membuatku menengadah, lalu menghapus jejak air mata di mata dan pipiku. "Sudah tidak sedih lagi?"
Aku mengangguk dengan pipi memerah. "Bagus, aku akan mengajakmu makan malam di tempat yang bagus. Sebaiknya kau mandi dan pakai pakaian terbaikmu."

"Kemana? Kenapa harus pakaian terbaikku? Semua pakaianku tidak ada yang bagus." Aku mengeluhkan isi lemariku yang tidak pernah terisi sejak satu tahun yang lalu.

"Pakai saja yang menurutmu paling bagus." Katanya.

"Kau akan mengajakku kencan?" aku melihat wajahnya yang penuh dengan rahasia.

"Makan malam, sedikit menghiburmu. Aku yakin kau akan senang." Dia sibuk membereskan baju-bajunya yang jatuh tadi.

"Oke, aku ingin makan daging sapi." Aku berlari ke kamarku, mencari bajuku yang paling bagus, setidaknya aku harus memakai yang sedikit lebih rapih, itu akan membuatku lebih dewasa daripada pakaian keseharianku. Aku pikir jalan dengan Mr. Kim butuh lebih banyak polesan dewasa, dia akan sangat terlihat seperti paman-paman kalau aku masih mempertahankan gayaku yang biasanya kekanakan.

Tunggu, ini sedikit aneh. Moodku kembali dengan drastis, aku tidak bersedih lagi. Oh, ya. Aku hanya lelah terus menerus menangis, dan aku sudah putuskan untuk bersikap lebih tegar. Mungkin Jimin memang brengsek, atau dia memang sudah berubah menjadi sombong. Aku akan menghajarnya nanti ketika kami bertemu. Akan aku pastikan dia menyesal telah mencampakkanku.

💎💎💎

April 2019

Revisi - Oktober

✔ Mr. Kim || Kim Namjoon (RM) Fanfic AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang