Yang aku tahu saat ini adalah aku harus mencoba untuk tegar dan mencari jalan keluar sendiri.
Aku hanya perlu waktu yang tepat untuk pergi.
💎💎💎
Namjoon membawa Jipnya ke parkiran hotel lain yang berada di ujung Selatan Pulau ini. Namanya The Heaven Hotel, kami sampai pada malam hari. Namjoon membawaku ke butik yang ada di dalam hotel, dia memilihkan pakaian untukku. Kami pergi ke lantai teratas hotel, hotel ini hanya terdiri dari lima lantai. Jadi ketika sampai di lantai lima kami memasuki kamar yang berbeda. Namjoon memberiku leluasa untuk tinggal di kamar sebelahnya. Katanya dia butuh menenangkan diri. Aku mengartikannya sebagai tindakan jaga jarak, mungkin dia takut menyakitiku lagi jadi dia memilih memesan dua kamar.
Ini kesempatan bagus untukku, aku mungkin bisa kabur.
"Jaelin, jangan coba-coba untuk kabur. Aku akan mencarimu kemanapun kau pergi." Dia berbicara dengan nada tajamnya, aku yang hendak membuka pintu jadi terhenti karena ucapannya. Namjoon bisa membaca pikiranku.
"Kau akan mampir ke kamarku?" Aku pura-pura tidak mendengarnya dan tersenyum menawari.
Namjoon ikut menyeringai, "Kau harus mandi, makan malam akan datang ke kamarmu beberapa menit lagi. Setelah itu aku mungkin akan menjengukmu." Katanya. Dia mengantungkan kata terakhirnya dan tersenyum misterius.
"Oke." Aku berpura-pura tidak tahu dan masuk ke kamarku dengan tenang.
Kalau begini aku tidak akan bisa kabur. Aku bergegas mandi dan memikirkan rencana untuk kabur. Aku tidak akan bisa kabur jika masih berada di pulau kecil ini, kecuali ada orang yang bisa membantuku. Sial sekali handphoneku hilang aku tidak bisa menghubungi Mina. Setelah mandi dan berpakaian aku menyalakan televisi berencana menonton sambil menunggu pelayan mengantarkan makan malam. Aku sudah pesan beberapa macam makanan ketika memesan kamar, aku yakin mereka tidak akan membuat kesalahan. Mataku tidak aku tutup dengan perban lagi, merah di mataku tidak begitu kentara dan lebamnya sudah agak memudar. Walau begitu aku masih menyentuh lebamnya untuk memastikan kalau itu masih sakit.
Begitu TV menyala pembawa acara berita mengumumkan mengenai kecelakaan tunggal di sebuah jalan sepi di Pulau Jeju. Aku mengerutkan keningku begitu melihat mobil yang terjungkal di pinggir jurang meledak dan terbakar. Aku kenal dengan jalan itu, aku pernah berjalan melewatinya ketika aku diusir dari apartemen Jungkook. Menurut pembawa acara, pengemudi dinyatakan selamat karena berhasil dievakuasi sebelum mobil meledak oleh tim penyelamat, walau terluka dan dibawa ke rumah sakit terdekat. Layar berganti ke Badan korban yang sedang berada di dalam ambulans, walau di sensor aku merasa tidak asing dengan pakaiannya.
Kemudian, berita berganti ke Kebakaran yang terjadi di salah satu rumah di kompleks perumahan yang terjadi tidak jauh dari lokasi kecelakaan. Kejadian sama-sama terjadi di Jeju dalam waktu yang bersamaan. Aku menutup mulutku begitu tahu kalau yang terbakar itu adalah flat rumah Jungkook.
Oh, Ya Tuhan. Apa ini yang dilakukan Namjoon pada Jungkook?
Kebakaran terjadi hari ini, ini tayangan live. Dalam berita menyatakan tidak ada korban dari kebakaran tersebut. Penghuni rumah tidak sedang berada di rumah. Aku baru tersadar dan ketakutan begitu ingat kecelakaan tadi, apa jangan-jangan itu Jungkook yang berbaring di dalam ambulans? Tapi aku tidak melihat tato di lengannya. Itu pasti bukan Jungkook.
Tanganku gemetaran, aku mematikan TV dan pergi ke kamar mandi untuk cuci muka karena secara tidak sadar aku menangis. Ini semua tidak terjadi secara kebetulan, Namjoon pasti telah merencanakan semua ini agar aku jera.
Aku yakin, Namjoon memukulku bukan hanya karena aku memakai pakaian Seora, tapi karena dia tahu aku mencoba untuk kabur dan meminta tolong pada Jungkook, adik dari temannya. Yoongi.
Aku mengigit bibirku, aku teringat Yoongi dan korban kecelakaan tadi. Tidak mungkin dia Yoongi. Namjoon tidak akan mencelakakan sahabatnya sendiri. Kecuali jika Namjoon seorang psikopat yang tak punya hati, dia mampu melakukan apapun.
Aku terlonjak karena terkejut dengan bunyi bel. Aku menghapus air mata dan mencoba menenangkan diri. Ketika membuka pintu, itu hanya pelayan yang mengantarkanku makan malam. Aku berterimakasih dan memberinya tips sebelum dia pergi kembali. Aku tidak berselera makan, tapi aku butuh energi untuk bisa menghadapi Namjoon. Aku terpaksa makan dengan hati tidak tenang. Bel menyala lagi, aku semakin gugup. Itu pasti Namjoon, dia berencana menengokku. Aku menghela napas sebelum membuka pintu.
“Sudah makan?” Namjoon mendorong pintu dan masuk dengan aroma mint dari sabun yang dia pakai menyeruak ke seluruh ruangan.
Aku menutup pintu pelan dengan tangan menunjuk meja makan. “Aku sedang makan, mau bergabung?” aku ambil air dingin di kulkas dan menuangkannya di gelas. Sementara Namjoon duduk di tepi ranjang.
“Makanlah, aku sudah makan.” Dia berbaring di tengah-tengah ranjang sambil menyalakan Televisi. Aku tidak memperdulikannya dan kembali makan walau sebenarnya aku tidak nyaman dengannya. “Apa tadi kau menonton berita?” dia bertanya. Aku diam tidak tahu harus menjawab apa. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Namjoon akan bertanya mengenai ini.
“Aku belum menyalakan Televisi.” Aku hanya menjawab itu, pura-pura tidak tahu mungkin bisa menyelamatkanku.
“Sayang sekali,”
Aku hanya bisa menghabiskan setengah piring spagetti dan menutup sisanya. Aku menyimpan troli meja dorong ke samping pintu. “Aku pikir aku sudah kenyang.” Ucapku, aku menoleh pada Namjoon yang sedang berbaring nyaman di ranjang.
“Baguslah. Kemari, kita nonton film.” Namjoon mengeser badannya, menyisakan satu ruang di ranjang untukku. Aku menurut dan duduk di ranjang punggungku menyandar di kepala ranjang. Namjoon melakukan hal yang sama, tapi sebelah lengannya mengalung di leherku.
“Aku tidak mau nonton film horor,” ucapku.
“Aku juga tidak suka. Bagaimana kalau ini?” dia memilihkan film romance terlihat dari poster film sepasang kekasih yang tengah bermesraan, si perempuan duduk di pangkuan si lelaki, mereka saling menghadap dan bertatapan dengan intens.
“Itu bukan film dewasa kan?” sindirku.
Namjoon terkekeh, “Mungkin,”
Aku merebut remotenya, “Aku yang pilih,” aku menganti ke film action laga, ‘Inception’
“Ini lebih seru.” Kataku.
“Hei, kau belum memenuhi taruhanmu.” Namjoon menarikku agar aku duduk diantara kakinya.
“Kenapa begini? Aku ingin menonton film dengan tenang.” Keluhku. Aku tidak nyaman karena dia membuatku menyender di dadanya. Dia memelukku dari belakang dan tidak memperbolehkanku bergerak.
“Kau harus memenuhi keinginanku, jadi diam saja. Kau bisa menyender di tempat yang empuk daripada kepala ranjang.” Katanya. Kedua tangannya ada di perutku, mengelitiki, aku terkejut dan tertawa karena geli.
“hei-hei! Jangan haha geli! Namjoon! Aw!” dia mencubit perutku. “Sakit!” aku menepuk tangannya dan menjauh darinya. “Kenapa mencubitku?”
“Itu hukumannya kalau kau tidak bisa diam. Kemari..” dia kembali merengkuhku, memelukku lagi. Kali ini kedua kakinya menekuk di sisian badanku, dia menempel di belakang badanku yang mungil. Aku tenggelam oleh pelukannya yang erat. “Aku perlu energi.” Dia mencium sisian kepalaku.
“Oke-oke, aku akan diam. Tapi, please. Kakimu luruskan saja, aku ingin menyandar padamu dan menonton film dengan nyaman.” Aku menoleh ke belakang, pada wajahnya yang terlihat tidak bersemangat. Aku mencium bibirnya sekilas dan menyenderkan kepalaku di dadanya.
“Aku yang menang taruhan tapi kenapa kau yang banyak maunya?” Namjoon mengeluh, dia menolehkan pipiku ke samping dan mendaratkan satu ciuman gemas.
“Kau harus memaklumiku, aku masih bocah..” ucapku dengan mata bersinar, aku mencoba meniru mata anak kucing. Namjoon terkekeh melihatku yang terlihat aneh mungkin.
“Ada apa dengan tatapan itu?” Namjoon hanya tertawa, aku mencebik, dia suka sekali mengodaku. “Ayo bocah, tonton saja filmnya. Aku ingin mengisi energi jadi kau harus diam, jangan banyak bergerak.” Namjoon membuatku duduk tegak, dia tidak memperbolehkanku menyender di badannya. Aku mengeluh dan akhirnya mendapatkan cubitan kedua karenanya.
Namjoon tidak mengangguku lagi, aku menonton awalan film tanpa berisik. Mungkin Namjoon tidur di belakangku karena dia tidak berbicara atau mengomentariku lagi.
Beberapa detik selanjutnya Namjoon menurunkan kerah bajuku dan dia menciumi bahuku. Aku tidak habis pikir, inikah yang dia sebut sebagai energi? Namjoon tidak berhenti, ciumannya mulai merambat keleher dan rahangku.
“Namjoon, wajahku sakit.” Aku mengeluh dan mencoba melepaskan tangannya di pinggangku. Dia kembali duduk tegak,“Apa kau tidak lupa kau sudah memukulku?” aku memasang wajah memelas. “Aku sungguh..., rasanya ingin membencimu.” Namjoon hanya menatapku dengan sebelah alis terangkat. “Kau bahkan tidak meminta maaf atas perbuatanmu.” Aku hendak menyingkir dari hadapannya. Namun dia menarikku hingga aku terjatuh ke ranjang dan dia menindihku.
“Aku tidak bermaksud memukulmu.” Dia berbicara tanpa ekspresi berarti.
“Lalu kenapa kau memukulku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Mr. Kim || Kim Namjoon (RM) Fanfic AU
Fiksi Penggemar[Bahasa Indonesia] - TAMAT. Follow me for complete story. Summary: Ada seorang pria dewasa yang menyewa kamar tamu di rumahku. Ibuku yang mata duitan itu menyewakannya karena dia butuh uang. Mungkin kami butuh uang. Pria dewasa ini mengaku seorang m...