Vertigo

721 86 5
                                    

.

.

.

Tidur Changkyun terganggu.

Suara gemuruh yang saling sahut menyahut dilangit malam membuat Changkyun selalu tak nyaman. Selalu sama. Perasaan itu selalu sama kala sang hujan turun dimalam hari yang sunyi diiringi dengan gelegar sang gemuruh sebagai latar.

Changkyun membalikkan tubuhnya, ke kiri lalu kemudian ke kanan. Mengharapkan menemukan posisi yang nyaman untuk membuatnya kembali terlelap. Namun Changkyun semakin tidak bisa memejamkan matanya. Lalu tanpa sengaja dia memandang sendu tempat kosong yang berada di sisi lain ranjang.

Changkyun mengehela sejenak. Mencoba menenangkan perasaan gelisah dihatinya. Sekaligus mengenyahkan keinginan untuk melirik jam yang ada di atas nakas di samping ranjang. Changkyun hanya akan semakin gelisah jika tahu saat ini jam menunjukkan pukul berapa.

Sialnya, suara gemuruh di luar sana malah semakin nyaring. Seolah menertawakan kegelisahan tak berarti yang menyeruak memenuhi hati dan pikiran Changkyun. Membuat pikirannya menjadi penuh hingga membuat kepala Changkyun terasa berdenyut-denyut.

Ah, sial. Vertigonya kambuh.

Dengan sebelah tangan yang ditekan dengan kuat dibagian atas kepala, Changkyun berharap denyutan yang semakin intens ini sedikit berkurang. Sehingga dia dapat membuka kelopak matanya yang tiba-tiba menjadi sangat berat —berbanding terbalik dengan keadaannya beberapa saat yang lalu.

Lalu kemudian, dengan sedikit tertatih Changkyun mencoba mendudukkan diri. Sebelah tangannya yang semula menekan kepala mulai mencoba menggapai pegangan laci dinakas. Langsung mengaduk-ngaduk isi laci ketika berhasil membukanya. Changkyun menggeram tertahan, denyutan di kepalanya semakin bertambah, tapi benda yang sedang dicari tak kunjung ia dapatkan.

Sedikit memaksa, Changkyun mulai menyeret tubuhnya untuk mendekat ke pinggir ranjang, melihat isi laci yang sudah berantakan. Walaupun pandangan Changkyun semakin buram dan menjadi tidak fokus —seakan membesar dan mengecil seperti melihat video yang di zoom in dan zoom out dalam waktu singkat.

"Hoek,"

Changkyun langsung saja menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dia tiba-tiba mual karena memaksakan dirinya untuk terfokus. Sambil menarik nafas secara tetatur, Changkyun memberikan jeda sesaat untuk segala aktifitas yang ingin dia lakukan. Mencoba menghilangkan rasa mual yang bertengger di pangkal ternggorokan. Changkyun tidak perlu tahu dan tidak ingin tahu bagaimana rupa makan malam yang dia makan sekitar bebrapa jam yang lalu.

Setelah mual tersebut dirasa cukup berkurang, Changkyun mulai memijit pelipisnya perlahan. Karena bagaimana pun, sakit dikepalanya masih tak kunjung mereda dan obat sialan itu masih tidak bisa ia temukan. Bahkan mungkin karena terlalu sakitnya, kini Changkyun tidak lagi mendengar suara gemuruh sialan itu diluar sana.

Setelah mengesah kasar. Changkyun pun mulai melanjutkan mengaduk isi laci di nakas. Sekali lagi, mengadu keberuntungan menemukan obat sial itu agar vertigonya menghilang.

"Ouch!"

Kali ini Changkyun meringis. Sepertinya telapak tangannya tertusuk atau tergores sesuatu ketika dia mengaduk isi laci.

Dan tak butuh waktu lama bagi Changkyun untuk mulai merasakan nyeri disekitar luka goresnya. Tapi tanpa ia sadari, denyut dikepalanya mulai berkurang. Mungkin karena teralihkan dengan rasa nyeri ditangannya.

Untuk selanjutnya Changkyun mulai menikmati sensasi perih diluka yang dia dapatkan. Setidaknya pandangannya sudah mulai membaik. Tidak lagi terlihat seperti video yang di zoom secara cepat dan berulang-ulang yang mengakibatkan dia ingin muntah.

Kemudian Changkyun dapat melihat darah segar mulai menetes keatas paha dan mengalir menuju seprai putih dibawahnya. Dan yang Changkyun lakukan? Hanya memandanginya. Dan entah mengapa dia menyukai itu.

.

.

.

"Astagah! Apa yang kau lakukan, sayang?"

Changkyun tersentak, dan langsung mengalihkan atensinya dari darah di tangannya ke orang yang kini telah berlutut dihadapannya sambil menggenggam kedua telapak tangan Changkyun dan menatap ngeri luka berdarah yang sedari tadi diabaikannya.

Walau awalnya sedikit terkejut melihat orang di depannya yang datang tiba-tiba. Namun, sebuah senyuman kecil terbit di bibir Changkyun secara perlahan ketika dia menyadari siapa yang kini dihadapannya. Ada perasaan senang dan juga lega yang memenuhi hati Changkyun kala itu. Karena akhirnya orang yang menjadi sumber kegelisahaannya sekarang sudah pulang dan ada dihadapannya.

Lalu sebuah kata maaf yang lirih terdengar diruang dengar Changkyun. Ah, ternyata itu suaranya sendiri. Changkyun merasa menyesal. Karena mau bagaimana pun juga Changkyun merasa bersalah karena membuat kekasihnya khawatir akibat kelalaiannya dalam menjaga diri dan terlihat lemah.

Tapi tanpa diduga, sebuah kecupan di kening yang didapat oleh Changkyun sebagai balasan permintaan maafnya.

"Aku yang seharusnya minta maaf, sayang. Maaf, aku pulang terlambat." Changkyun hanya menggeleng sebagai jawaban. Orang itu—Lee Jooheon—tidak bersalah. Dia hanya melakukan pekerjaannya dan Changkyun tidak seharusnya egois.

Bahkan semestinya, Changkyun yang merasa beruntung dan berterima kasih kepada Jooheon. Karena selama ini, Jooheon selalu menjadikan Changkyun sebagai prioritas utamanya dibandingkan yang lain —bahkan dirinya sendiri.

Jooheon yang menyadari rasa bersalah Changkyun yang semakin membesar, hanya menandang Changkyun lekat-lekat dengan irisnya yang kelam, meminta atensi sang kekasih. Sayangnya, perlakuannya itu membuat Changkyun jadi salah tingkah dan memerah.

Lalu Changkyun dapat menangkap sebuah senyuman teduh terpatri dibibir Jooheon karena reaksi malu-malu yang dia berikan. Menampilkan dua buah lesung pipi yang sangat disukai oleh Changkyun. Sungguh, hati Changkyun selalu saja berdesir tak karuan ketika melihat senyuman itu. Senyuman yang menjadi candu tersendiri bagi Changkyun. Senyuman yang selalu Changkyun damba dan harapkan hanya ditujukan untuk dirinya sendiri.

Ah, Changkyun harus mengakui.

Changkyun mencintainya.

Mencintai seorang Lee Jooheon.

Sangat.

"Kalau begitu, ayo kita obati lukamu."

Changkyun menganggukkan kepala sebagai jawaban,yang sekali lagi dibalas sebuah kecupan singkat dipucuk kepalanya dan diiringi sebuah usakan lembut disurainya yang kelam sebelum Jooheon beranjak mencari kotak obat.

Changkyun rasa, kini dia tidak butuh obat untuk vertigonya lagi. Karena sejujurnya, Changkyun sudah mendapatkan obat yang paling dia butuhkan —dan hanya satu-satunya Changkyun butuhkan.

Dia,

kekasihku.

Lee Jooheon.

.

.

.

end.

LONGING HEART [JOOKYUN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang