“Serenada Wendy Lyubovskha.”
Seohyun ada disamping bahu, malam minggu jalan berdua dari semenjak langit mulai gelap. Irene tendang ranting di jalanan kesamping sana, sampai jauh nyangkut di semak. Lyubovskha, kata Seohyun itu marga Wendy.
Wah, baru tau sih. Disini dia mengecil pake jaket tebal—Seohyun sendiri pake hoodie sama tudung kepala yang dipake sampai setengah wajahnya ketutup.
Seohyun sama sandal cepleknya nyaris terpeleset jalanan licin, bekas hujan dari siang sampai sore. Irene ketawa puas.
“Berisik sial,” Seohyun merengut, jalan tetap lanjut. Ketawa Irene juga masih bersambung.
Irene tarik pipinya kesamping, katanya pegel ketawa lama. Seohyun mampusin reflek kan.
“Kok aku gak tau kalau nama Sere ada Lyubovskha nya??”
“Ya kamu mana pernah nanya sama bu Sere? Dia juga gak nganggep kamu ceweknya sih.”
Seohyun ketawanya meledak dahsyat, jalannya jadi cepat karena Irene gerakin kaki niat tendang pake kekuatan penuh.
Kolaborasi jaket sama hoodie dikerumunan massa pasar malam ternyata cukup manjur buat halau hawa dingin, disini Irene puas ketawa-tawa bareng Seohyun. Ya isi hati masih pedih, tau kan?
Wendy sekarang lagi ngapain aja dia gak tau, terus kenapa ya masih di pikirin? Kan capek juga dianya.
“Kak Sere, teh jahe sebelah sini!”
Nah ini biang penyakit, bahkan tungkai kaki manusia Bae ini nyaris patah dramatis saking susah buat diajak gerak menghindar. Seohyun sadar situasi, matanya mindai sekitaran area suara perempuan yang panggil nama Wendy tadi.
Ketangkep, Seohyun berdesis dikuping Irene, seperti ular derik. “Bu Sere ada di arah jam tiga, sama cewek sambil bermalam minggu. Wow,”
Irene alisnya mengkerung, tahan kepalan tangan dikantong jaketnya sendiri, bisikannya mancing—padahal gak ngaruh tuh.
“Ya bodo,”
Seohyun berdecih, bahu kecil Irene disenggol sengaja. “Terus kenapa mukamu galak gitu?”
Irene reflek tamplak wajahnya sendiri sampai berbunyi, Seohyun terkekeh. Mau digasak sampai ngebul pun pasti kondisi muka manusia ini gak bakal lempeng lagi seperti jalanan mobil Tamiya.
Terus Wendynya lalu lalang didepan wajah. Yang begini-begini kan jadi suntikan emosi, Irene modal merhatiin tanpa ada usaha buat nyamperin.
Maunya disamperin, gak mau tau. Bodo.
“Bu Sere!” ini Seohyun, jenius.
Disana Wendy ambil gerakan noleh, teh jahenya ada ditangan—jangan lupain poni lucunya yang makin kiyowo juga, background lampu pedagang jadi bawa kesan elegan entah dari mana. Irene isi kepalanya sekacau itu kalau mau tau mah.
Nanti Wendy ada background pohon tumbang pun masih bisa Irene sebut pembawaan yang epic.
Keliatan dari depan sana Wendy senyum simpul, Irene megap lama-lama. Dan perempuan yang rangkul bahu Wendynya langsung dapat posisi musuh besar satu menit yang lalu.
Kasian Mina. Padahal kenalan aja belum.
Sekarang posisi saling hadap, Seohyun peluk Wendy agak erat. Mina diajak jabat tangan, orang ramah memang beda.
Meanwhile, Irene pasang wajah jengah. Wendynya nautin alis tanda keheranan.
“Kak, ini Sharon. Kenalin.”
Yah—bagusnya dari mereka berdua gak saling bawa perasaan waktu kejadian di bukit meteor. Irene lirik sekilas tangan Mina yang menjulur. Ogah sih ogah bales jabatan, ya tapi nanti Wendy ngiranya dia cemburuan akut sampai mau meninggal.
“Irene.”
Mina kepalanya agak miring gesture mikir, lalu bibirnya membulat dan bergumam oh panjang sekali.
Ternyata rupa lawyer yang suka Wendy ceritain begini ya bentuknya. Not bad. Mina kasih senyum akrab, Irene mencibir didalam hati; katanya sok akrab.
Yang liatin cuma saling lirik, total freak.
Seohyun berdehem setelah acara jabat tangan males-malesan dari manusia Bae. “Bu Sere tumben main diluar,”
Wendy terkekeh lucu, Irene lemes aja bawaannya. “Mumpung Sharon mau nemenin, kapan lagi kan?”
“Dih,” celetuk Irene makin gak jelas.
Bahunya disenggol lagi, Seohyun senyum kikuk. Catet ya, buat jam ini aja jangan ingetin kalau Irene partner sobat dia dari dulu.
Malam minggunya gak seru, padahal kesempatan ketemu Wendy itu nyaris susah. Mau bersyukur juga Irene keburu males.
________________________________________
Kurang minum sih lu Bae.