Dandelion Root Formula

1K 194 42
                                    






Dan lagi, Irene melamun sendirian di kantornya. Ponsel tergeletak, diliatin sebentar itu sama dia—lalu berakhir helaan nafas kasarnya yang keluar.

Akhir-akhir ini semenjak Wendynya susah kontrol ingatan, dia nyaris mati rasa. Mau nangis ya susah; Papi bilang gak ada gunanya nangis buat jadi pelampiasan rasa emosional. Masih ada otak, pake.

Masalah bukan buat diliatin tanpa ada usaha mecahin, selagi bisa di diskusikan secara tenang dan gak terburu-buru, semuanya pasti ketemu cara penyelesaiannya. Percaya.

Irene mencebik, dasinya ditarik agak melonggar. Dia butuh nafas biar bisa tenang dari semua rasa bersalah.

Salah karena terlalu bungkam soal apa masalahnya dia sama Wendy ke keluarga besar. Semuanya beralasan, gak bisa bilang merinci satu persatu. Intinya dia salah, udah.

Irene juga terus nyesel, karena bawa-bawa keluarga Yeri. Kadang saat emosi yang dominan main itu seketika omongan apapun gak punya rem alias blong!

Dia juga nyesel karena udah bikin Maminya keguguran. Irene tau dari Wendy sebelum mereka nikah, waktu semuanya berjarak—antara dia, Mingyu juga Wendy. Kandungan Mami memang lemah, faktornya banyak—;

Termasuk hipertensi dan pengaruh umur Mami yang udah gak muda lagi.

Dan Irene juga nyesel karena udah main tangan ke Wendy. Walaupun setelah beberapa hari pasca kejadian, Wendy nanyain kenapa bibirnya ada lebam? Disitu Irene pengen meninggal aja rasanya.

Yah, ternyata pelajaran dari Papi supaya punya mental yang kuat itu bisa diterapin sekarang. Gak nyangka, Papi segitu kakunya seperti Papa kentank ternyata punya pemikiran yang jauh.

Karena sebetulnya Irene masih gak nyangka, sikap Wendynya yang mudah lupain kejadian itu ada sebab akibatnya, dia jadi inget soal Wendy yang tiba-tiba gak ngambek lagi. Seolah lupa total sama apa yang dia alamin sebelumnya.

Inget kan? Wendy suka tiba-tiba baik lagi setelah adu mulut.

Irene tutup matanya rapat, perut yang gak seberapa buncitnya itu dia usap kecil. Lalu reflek buka mata begitu dia inget semua kondisi kacau ini gara-gara apa yang ada diperutnya dia.

“Ingetin ini ya, awas kalau kamu lahir dan manggil Sere pake sebutan Ibu, dia punyaku. Jangan sok akrab nanti kalian,”

Kasian bayi, udah dapet ancaman sebelum lahir.







;

Brakk!

Lamunannya putus, Irene reflek ambil kacamata bacanya. Dipake buru-buru dan beralih bangun waktu pelaku pendobrakan tadi itu ada Wendy yang jadi pelaku.

Disini Irene total kaget, ya kagetnya jelas beralasan. Pertama, Wendy ternyata udah bisa lihat walau jalan sempoyongan, kedua; Wendy telanjang kaki.

Dan yang terakhir, Wendy gak pake celana. Cuma pake kemeja tidur bekas semalam punyanya dia.

Wow! Tulisan italic supaya jelas vocalnya.

Wendy jelas habis nangis heboh, Irene langsung berdiri dari duduk. “Sere, kamu udah bisa liat?!”

Wendy gak jawab apapun, dan kertas yang sedari rumah dia bawa kesini langsung ditempel kasar ke dada Irene; sedikit terhuyung kebelakang, Irene cuma bisa bungkam.

“Ini apa!” Wendy usap kasar air matanya, Irene masih gak mau ngomong. “Ini apa Bae, ini apa!”

“Kenapa kamu gak pake celana dulu, aku ambilin coat ya?”

Kepala Wendy geleng keras, nangisnya masih ada dan Irene tau betul kalau Wendy bukan anak kecil yang mudah dialihkan.

Kertasnya jatoh kebawah, Irene pegang bahu Wendynya itu reflek. Jangan sampe ini bikin Wendy down lagi.

“Kamu bohong, kamu bodohin aku.”

Irene lolosin beberapa air matanya, banyak orang kantor yang berseliweran diluar. Mereka ngintip sekilas karena penasaran,

Wendy terus nangis dan bahkan kepalanya nunduk, gak mau menatap Irene yang sekarang ikutan duduk dibawah.

“Ayo bangun, ayo. Jangan gini, ada pejoy dimejaku. Kamu mau pejoy?”

“BULLSHIT!”

Hari ini bareng suasana ricuh, Irene ingkar janji ke Papinya karena gak tahan buat gak ikutan nangis didepan istri.

______________________________________


















Asdfjkl papa kentank gak tuh 😟

Marmalade (ReneDy) | Completed ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang