%

1.1K 182 52
                                    









Rambutnya mulai tumbuh panjang, seiring poni Wendy yang kian menghilang. Dia formasi sendiri, dilapangan luas—sama mantel warna coklat yang membungkus baju dalaman dia yang punya kerah leher agak tinggi.

Ditangannya ada bunga sama air mawar. Matanya mulai berkaca-kaca, lalu beralih jongkok. Gak peduli sepatunya kotor atau mantelnya kotor kena tanah dari pemakaman.

Hari ini jadwal menjenguk bayi Irene, seketika dia inget proses penyuntikan bayi ini yang ditangani langsung sama Yves. Bukannya Wendy gak berani, cuma apa-apa yang bersangkutan sama bayi mati itu jadi bawa dia ke Abraham.

“Ibu nyesel banget gak bisa gendong kamu buat pertama dan terakhir kalinya.” ocehan Wendy bersuara merdu,

Seriusan, dada dia sesak. Dulu dia gak pernah gendong Abraham juga, cuma tau-tau bayinya dinyatakan meninggal. Ibu sama Mingyu bahkan iyain, Wendy tau wajah Abraham dari satu foto yang Mingyu kasih liat waktu dulu.

Foto gak bernyawa. Rasanya masih gak terima sampai sekarang. Wendy gak pernah terima anaknya meninggal.

“Ibu kangen Abraham.”

Mawarnya mulai ditabur memanjang, menggunung sampai keatas. Lalu Wendy juga kucurin air mawarnya dari botol beling secara teratur. Hati-hati sekali.

Sore masih terasa panjang disini, rambut dia diacak angin. Dan siluet seseorang yang baru datang ke pemakaman jadi objek matanya.

Seulgi datang, ke makam lain. Sedikit jauh dari posisi dia jongkok. Mereka sempat tuker pandang beberapa lama, dan akhirnya Wendy yang pertama mengalihkan.

Bibir bawahnya dijilat sekilas, ada hasrat pengen nyamperin Seulgi, tapi memang perasaan kasian Wendy itu selalu bawa dia ke zona yang gak nyaman. Wendy tetap jongkok, gak respon Seulgi yang masih perhatiin dia dari jarak jauh.

Jadi kilas balik di insiden kecelakaan waktu itu—ternyata Krystal meninggal. Wendy bahkan dengernya shok, tapi Irene yang kasih tau kabar itu tetap sama wajah dia yang datar. Seolah mampusin.

Katanya; Krystal punya kondisi paling parah, tempurung kepalanya retak dan dia juga gak pasang seatbelt. Takdir manusia kadang gak bisa ditebak. Gak bisa diantisipasi sama apapun.

Walaupun manusia bikin triliunan bunker anti kiamat sekalipun buat melindungi diri dari kematian. Takdir tuhan tetap sama.

Wendy berdiri, sedikit tepuk belakang mantelnya yang keliatan kotor. Dan dia balik tatap Seulgi yang masih berdiri disebelah makam Krystal; mantelnya warna hitam, dan dua tangannya dimasukin ke kantong mantel cari hangat.

Coba kasih tau Serenada—pantes gak dia samperin si beruang? Sekarang Wendy hatinya sedikit ricuh sih, ada Seulgi didepan sana. Plis?












;

“Ada bagusnya kamu samperin aku kesini memang.”

Wendy berdehem respon jawab, Mina lirik sekilas sambil kasih jas putih Wendy kepemiliknya. Mereka jalan dilorong rumah sakit tempat Mina kerja. Wendy sendiri kesini itu memang niat nyamperin Mina.

Bukan buat curhat lagi tapi, sekarang Wendy sedikit longgarin jarak dia sama Mina karena omongan Dita waktu itu. Jadi harus dibiasakan apa-apa sama Irene, bukan sama orang lain.

Wendy stop dipertengahan jalan, Mina ikut stop dan tanya ada apa. Wendy dari tadi sibuk main ponsel sih.

“Kamu duluan aja Sha, aku mau telfon kak Irene dulu.”

Oh? Bibir Mina membulat, dia ngangguk walau sedikit gak rela kalau Wendynya sibuk sama Irene. Ya tapi gak bisa gamblang protes juga kan, Mina inget kok posisinya gimana.

Dengan jadi oknum yang diam-diam mengagumi dan mencintai bu bidan segenap jiwa raga aja udah cukup. Lalu Mina beralih putar badan dan jalan sendiri ke ruangan nya.

Wendy hela nafas, dia gigit bibir bawahnya lumayan kuat. Tadi dia bohong, hari ini di pemakaman dia ketemu Seulgi—terus kenapa juga dia malah nyamperin Mina? Dirasa nama Irene itu jauh dari kepala.

Tangannya masuk kantong jas, dan ponsel dibiarkan terbengkalai. Stethoscope didalam kantong jasnya itu dia remes kuat, jadi bingung mau kemana akhirnya kan.

Harus rileks, Wendy tarik nafas kali ini dan mulai jalan kebelokan lorong rumah sakit. Tiba-tiba seseorang nabrak dia dari arah depan, sampai stethoscopenya kelempar dari kantong.

Wendy meringis, posisi jatohnya gak begitu parah sih. Soalnya yang nabrak juga anak kecil, cowok.

Anak kecil itu liatin dia lama, sama-sama jatoh kebawah dan Wendy balik perhatiin anak itu tanpa kedip.

“Sorry.” kata anak kecil ini tulus.

Wajahnya putih bersih, Wendy gerakin kepalanya kesisi; mengamati visual anak ini yang punya pigmen wajah percis dia.

Lalu stethoscopenya disodorin, Wendy terima gampang. Anak kecil ini bilang maaf lagi karena kepala stethoscope Wendy pecah. Wendy reflek senyum tipis dan acak ujung kepalanya tanda gemes.

“It's okey, gapapa.”

Aduh, suara Wendy lembut. Dan anak kecil tadi ninggalin dia sendirian.

Bibirnya masih senyum, Wendy jadi kebayang anaknya mungkin seumuran anak itu kalau masih hidup.

“Abraham! Ayo!”

Entah itu suara siapa, yang jelas disini Wendy berdebar hebat. Suara perempuan yang panggil nama Abraham tadi bergema disepanjang lorong rumah sakit anak ini. Seolah ngurung Wendy secara sengaja.

_______________________________________












Aku g bsa janjiin ini bkl tmbus 100 chap. Tp klo diliat2 sih konflik masih panjang 😭

Marmalade (ReneDy) | Completed ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang