Suddenly

1.2K 195 39
                                    

Makasih dulu sama Papi yang telfon manusia Bae supaya balik ke rumah sakit, dibentak sedikit itupun. Tapi sukses bawa dia masuk lagi.

Irene jalan masuk kedalam, dilitin Wendy diatas bangsal. Intens, dalam dan banyak rindunya.

Yang lain nunggu diluar.

“Hai.” sapa Irene lembut sambil jalan mendekat.

Bibir Wendy senyum tipis, masker oksigennya dilepas Irene dan kecupan dikening jadi salam sapa buat jam ini.

Sorenya mereka hangat, berasa ini terlalu jauh buat kemarinan. Irene kadang rindu suasana begini, lepas semuanya balik seperti sekarang—udah gak ada apapun yang dia pengenin dalam konteks terlalu.

Cukup Wendy. Dia, dan dia.

Cukup Wendynya yang sadar dan inget nama Irene Bae itu posisinya jadi apa. Irene cukupnya memang segitu. Gak lebih.

Jemari kenyal Wendy usap wajah Irenenya itu halus, sambil pejamin mata. Coba resapi struktur wajah tercinta, sekarang Irene udah punya wadah sendiri. Tercinta.

Wendy buka mata, dan senyum lembut begitu liat wajah Irene yang terlalu deket. Bahkan hidung mereka saling gesek beberapa kali.

Irene ikut senyum, nyaris ketawa tapi ditahan. Dia ambil jemari Wendy, dimainin sekilas, diciumin sama dia karena terlalu sayang. Wendy bales cium jemari Irene beberapa kali.

Artiin itu ya, Wendy sama rindu dan sayang juga.

“Aku pingin gabung.” ini Wendy, Irene responnya cuma muka loading.

“Apah?” kalimat akhir Irene ada vokal desahnya. Wendy reflek terkekeh lucu. “Gak, tadi kamu bilang apa?”

Wendy tarik kepala Irene sampai merunduk, lalu kening mereka saling menempel beberapa detik. Posisinya kurang enak, Irene dirasa pengap aja bawaannya.

“Aku pingin gabung, aku pingin—” omongannya menggantung, Wendy lirik kesisi; banyak orang yang liatin mereka lagi apa kan. Dianya malu.

Dan Irene langsung ngerti, dia sentil hidung Wendynya sekilas dan jalan menjauh buat tutup pintu sekalian gorden-gordennya. Ngunci otomatis, Dikurung berdua.

“Aku juga pingin penggabungan.”

Wendy bales pake anggukan dan dia beralih duduk dibantu Irene. Dua-duanya bungkam, seketika bingung mau apa lagi. Ada yang gak sabaran, dari Irene tentunya.

Ini apa ya? Maksudnya apa yang Wendy pengenin itu sedikit bikin shok. Jujur kalau dari Irene sendiri ya pasti kesenengan.

Irene akhirnya tarik badan lemes Wendy buat dia peluk posesif, Wendynya langsung mendusel diceruk leher. Gak perduli sama masker oksigen yang tergeletak disamping paha.

“Bu,” Wendy berdehem isyarat jawab. “Kamu percaya kalau aku cinta mati sama kamu?”

Wajah Wendy sedikit gerak dileher, Irene tambah eratin pelukan. Yang dipeluk juga gak mau lepas, mereka posisi nyaman diatas bangsal. Sama sunset sore semu jingga.

“Aku percaya, aku sayang juga sama kamu. Sayang sekali.”

Terus Irene terkekeh gampang, matanya berair sedikit. Jemarinya masih asik usap belakang kepala Wendy, sedikit lupa sama tadi Wendynya minta gabung.

Tiba-tiba teralihkan sama kata sayang. Lupa dunia mau malam, lupa besok dia bisa aja gak bisa peluk lagi Wendy.

Irene segitu sayangnya, gak bisa dibantah bahkan dari dulu. Dan Wendy nyesel harus jalanin puluhan chapter tanpa ada rasa peka dan ngerti.

Wendy bisa rasain kerongkongan Irene yang naik turun di jidatnya. Dia sendiri langsung mengerling cepet efek ngantuk.

Irene lepas pelukan, mereka saling tatap dan yang pertama jadi korban pencopotan itu selang infus punya Wendy. Lalu kancing baju pasien, lalu celana dan segala printilan didalamnya.

Wendy dibiarin merebah deg-degan, tadi Irene cium bibirnya lama. Dimainin, digigit yang katanya tanda sayang. Wendy bales lumat malu-malu.

Masih ada sisa waktu menuju malam, dan cara mereka nunjukin rasa cinta pake cara penggabungan mungkin gak akan kena sanksi salah dari siapapun. Wendy masih lemes ya siapa perduli?

Irene buka sampul dasi talinya pelan-pelan dan seterusnya cuma tabung oksigen yang jadi penonton.

_______________________________________














Libas ajj yekan :'))

Marmalade (ReneDy) | Completed ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang