Malam setelah kemarin, posisi tetap sama dan kamar tidur dengan banyak lampu tumbler jadi latar mereka berdua.
Baju tidur satin Wendy warnanya senada, yah—bisa dibilang kembar-kembir karena itu Irene yang beli.
“Dek,”
Dialog awal yang agak geli, empunya sedikit meringis sendirian kalau mau tau mah. Dek, dalam tanda petik itu nyaris bikin Wendy kempleng sisian kepala manusia Bae.
“Apa, cinta.”
Dan blank, Irene isi kepalanya kosong plus enteng; efeknya rame diperut, seketika pingin menjerit tanpa suara yang keluar.
Duh, cinta katanya.
Irene berdehem sekilas, meja kamar jadi bahan simpen kakinya yang enak selonjoran gaya santai. Wendy sedikit turunin buku bacaannya dan gerakin alis jadi isyarat tanya.
“Leherku sakit, kenapa ya?”
Bukunya naik lagi, lanjut baca. “Semalem tidur pake bantal dua.”
“Memang ngaruh??”
“Ya.”
Jawabannya singkat, bahkan Wendy asik sendirian—gelagatnya kaya orang merajuk. Ya Irene tau, ini pasti sebab permintaan ajaib tentang anak.
Sesuatu yang gak pernah Irene pikirin sebelumnya, jauh dari kepala dan memang gak ada niatan sama sekali buat tambah anggota keluarga.
“Sere, nanti mami lahiran kita ambil buat diurus bareng-bareng. Adikku jadi anakku.”
Lalu Wendy tutup bukunya gak sabaran, beralih ubah posisi jadi duduk tegap hadap Irene yang pasang wajah kaget. Kakinya masih diatas meja, aduh santai sekali.
“Mana bisa gitu!”
“Bisa-biasain,”
“Pantes jomblo sampe tua, otakmu cetek begitu. Kok ya cape aku ngadepinnya—” Wendy sok cape, serasa batinnya memang lelah. Padahal didalam hati dia ketawa ngakak.
Bisa nyeplos ledekan secara gampang ke lawyernya itu kasus susah, kapan lagi kan?
Sementara Irene wajahnya agak shok, tadi bungkam sebentar nyerna kalimat yang menurutnya kurang ajar.
“Sok tau, kata siapa aku jomblo sampe tua?” disini Irene rautnya smug face lah, nyampah sama tuduhan. Sombong sampai ujung planet gurita, aslinya memang iya.
Dilihat sekilas Wendy yang kembali ke posisi semula, hasrat buat adu omongan petakilan juga dia udah gak niat. Irene jalan mendekat, usap ujung kepala Wendynya itu sayang dan berakhir taruh kepalanya dipaha kenyal bu bidan.
“Bu, kakak sayang banget.”
“Ibu tuh kamu panggil siapa kak,”
Buku Wendy ditarik kebawah, “Ya kamu, semuanya panggil kamu Bu Sere.”
Jidat Irene kena geplak buku, dan kenapa ya sama buku Wendy sekarang? Serasa jadi orang ketiga tapi gak bernyawa. “Kamu yang panggil jadi jijik.”
Irene mencibir, cium perut Lyubovskhanya beberapa kali akibat gemas malam-malam, sedikit tahan hormon juga.
“Halah, gak mutu.”
“Mukamu yang gak mutu.”
Atau ini jadi taktik Wendy; pengennya masih sama dan tetap begitu. Satu pusat dikelengkapan keluarga, entah ini datangnya dari mana—bisa jadi karena omongan Sharon. Yah sedikit cerita tentang masa lalu, Wendy masih mimpi punya keluarga lengkap.
Kata Sharon harus pelan, karena Irene tipekal manusia yang kalau dianya dipaksa malah semakin menjauh dan cuek mati.
Kepala Irene diangkat, Wendy beralih geser kesamping dan biarin Irene sama muka bodo amatnya terlentang santai.
“Mau kemana,”
Iya, pertanyaan keluar sebab Wendy ada gerak menjauh terus berdiri siap-siap ke kamar mandi. “Mau cuci muka, makeup removerku ambilin kak. Tolong.”
“Cium dulu sekali.”
Dan Wendy cium bolak-balik pipi lawyernya sambil terkekeh sama-sama, gummy ya malam ini.
Hari ini nyaris mendekati penghujung minggu, malam seperti biasa yang bawa kesan hangat karena dua-duanya jauh dari ketegangan soal apapun. Selamat, Irene Bae seneng dan Wendy lebih seneng ada didekat Irenenya.
________________________________________
ow gt y ngab,