Black Cappuccino

1.7K 227 22
                                    



“Wow, kenapa nih?”

Kacang, Yeri dapet kacang. Tadi Irene masuk, sedikit basah-basahan dan kaget ternyata dia bawa Wendy kesini.

“Bu bidan sakit? Elu apain kak?” Yeri lanjutin tanyaannya, posisi deketan dan Irene beralih diem.

“Buka pintu kamar gue,”

“Itu kenapa dulu sial.”

Irene mendelik males, tatap sekilas Wendynya yang ada dirangkulan.“Abis gue tidurin.”

Tok, Yeri pasang wajah tegang. Orang dewasa macem Irene memang sefulgar ini ya kalau ngomong?

“Boong ya lu?”

“Cek mobil, disana masih ada bau sexnya.”

Pundak Irene dipukul, niat. Yeri wajahnya agak merah, ya Irene tipekal orang yang kalau bicara memang gak pernah sembunyi-sembunyi. Katanya gak penting, sekalian pembelajaran—biar Yeri tau, orang dewasa itu pasti perlu kebutuhan biologisnya.

Ugh, si sialan. Total idiot,



;

“Aduh, aku gak sakit.”

Irene angkat tangan tanda nyerah, kedipnya polos—Wendy modal dengusan didepan wajah. Posisinya didalam kamar, dan hujan masih ada.

Beberapa detik saling diem, Irene berdehem dulu sebelum akhirnya punya inisiatif buat ambil minum. Dia inget ini karena tadi dimobil Wendynya kehausan.

“Minum dulu.” suara Irene kalah sama suara berisiknya air hujan.

Posisi tegap Wendy agak bingung; dikamar orang, berdua—dan ini pengalaman pertama dia bermalam ditempat yang bukan punya Rose. Mau pulang juga tanggung. Kata Irene ini sudah jam malam, sekitar pukul sebelas.

Terus inget juga ternyata mereka main didalam mobil dari jam delapan lebih, sisanya entah ngapain. Tau-tau pulang.

Wendy lirik sedikit botol minumnya, tangan menjulur dan botol siap berpindah tangan. Irene gasak halus ujung kepala Wendy dan terkekeh kecil.

Tau? Kekehannya kosong, hati masih mencelos dan pelepasan Hoodiepun Irene masih risih sama kalimat Wendy butuh Mingyu.

Setan, Irene posisi munggung. Wendy tatap view didepannya itu intens setelah botol minum ditaruh diatas meja samping tempat tidur.

Janji ke diri sendiri ternyata cuma hoax, kata-kata gak akan bawa nama Mingyu didepan Irene hasilnya jadi pembohongan publik. Disini Wendy total bodoh—iya, susah buat gak lakuin itu lagi.

Coba tebak sesakit apa kondisi Irene, sorry to say juga masalah hormon didalam mobil. Ya Irene butuh itu dari Wendy, gak pake sebab.

Wendy ngalah, tangannya melingkar diperut manusia Bae pake cara halus, dari belakang. Sekilas Irene bisa rasain usapan pipi lucu Wendynya dibahu. “Tadi itu aku yang dungu. Gausah gini, minta maaf.”

“Kamu minta maaf buat soalan yang mana?”

Mulut Wendy total bungkam, Irene beralih usap punggung tangan putih pucat diperutnya itu lembut. Oke, ini gestur penenang. Omongannya memang bercabang, Wendy mungkin bingung.

Ya memang bingung sih, hari ini dia banyak salah; dari segala segi, utamanya diucapan. Mau kasih tau? Siapa kira lupa kan. Wendy begitu tipekalnya, melupa sengaja karena gak mau bahas soalan yang menurutnya bisa membunuh diri sendiri, gak suka jadi oknum yang terpojok.

Tapi disini Irene paling kontras sama ekspresi wajah dicermin, Wendy masih bungkam. Bahkan helaan nafasnya tenang, nyaris mau tanya sebetulnya ada apa? Irene beralih kalem.

Mood amburadul jam sebelas malam, dahsyat.

“Aku ingkar sama janjiku sendiri, maaf.” pelukannya mengerat sekilas, Wendy ambil gerakan mundur karena Irene balik badan.

Kacau, Irene mukanya keruh. “Sakit tau? Maumu apa, aku tanya serius.”

Wendy balik tatap mata Irene, satu garis lurus ada di mereka.

“Gak ada mau apapun, dari kemarin hariku gak jelas karena masalah ini. Kamu tau kak?”

Irene berdecih, sementara Wendy masih memperhatikan. Tenang, suhu panas belum timbul kok, demam Wendy hilang waktu penggabungan; mungkin ikut menguap bareng desahan kotor didalam mobil.

“Kamu masih mau sama Mingyu?”

“Asli, masih. Tapi dia tukang pukul,”

“Cuma itu?”

“Masalahku banyak, kamu gara-gara.”

Sip, mencelos lagi; karena dia Wendynya jadi banyak masalah. Cih,

Bahkan Wendy gak gamblang soal masalahnya itu apa, didepan wajah gini cuma saling bentak, capek. Ya jengah kalau ingat kejadian dimobil, aroma angin lalu—ampas, anggap begitu.

“Jadi aku masalahmu. Wah, kurang ajar ya. Pukul nih pukul.” Irene tempeleng kepala sendiri, Wendy berubah sekejap.

“Kak, bukan gitu.” nadanya melembut, Wendy genggam tangan manusia Bae itu rada kuat.

Jadi sekarang cuma saling tatap, isi kepala yang pasti punya suara yang berbeda, Wendy bingung harus bilang apa—Irene lebih bingung sialnya.

“Kak, aku gak suka sama asumsimu soal Mingyu.”

“Aku gak ada bilang apa-apa soal dia.” disini Irene alisnya mengkerung, Wendy ngangguk isyarat paham. Sangat paham.

Memang bener Irene gak pernah ngeluarin satu katapun yang nadanya menjelekan Mingyu, itu bener. Wendy akuin. Tapi Wendy bisa tangkap point besarnya; Irene punya pandangan sepele soal perceraian, padahal bagi Wendy, defininisi Kim Mingyu itu ibarat buku lama yang punya banyak bab.

Isinya tebal, Mingyu pernah jadi cerita dihari kemarin. Wendy gak bisa tendang Mingyu gitu aja, demi Irene? Proses melupakan seseorang yang pernah ada itu gak segampang ucapan omong kosong bro.

“Aku butuh waktu, kamu juga butuh waktu.” ujar Wendy setelah beberapa saat diem dan tahan kalimat didalam otak.

“Ya apa susahnya beriringan? Jangan buat jarak, aku gak mau.”

________________________________________


menangis terbahak-bahak

Marmalade (ReneDy) | Completed ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang