Orange Caramel

2.3K 255 32
                                    

Inget rencana awal Irene ikut ke Toronto kan? Wendy inget, Rose juga inget. Tujuannya cuma satu, izin Abraham.

Pagi di Toronto dinginnya gak masuk akal, Irene terus menjerit kedinginan didalam selimut—lalu Wendy yang denger orang berisik disebelah bahu itu rasanya makin gak masuk akal. Wendy gak pernah ngalamin pagi berisik selama hidup nyaris sepuluh tahun sama Mingyu, mau disana dan disini. Mingyu gak seberisik manusia Bae.

Selimutnya disibak pelan, Wendy jalan ke kamar mandi diliatin Irene secara intens.

“Dua jam lagi kita berangkat ke pemakaman,”

“Dingin, besok aja.” sahut Irene males-malesan.

“Besok kita pulang kak, aku mau nuntasin persidangan. Klinik aku juga gak ada yang pegang.”

Jawabannya bikin Irene melek total. Dia ikutan sibak selimutnya kasar, hidung merahnya masih ada. “Sidang kamu besok??! Serius??”

“Iya, kak Seohyun gak ngasih tau kamu memang??” Irene langsung geleng dan Wendy gak ngomong apapun lagi.

Setelah Wendy masuk kamar mandi, Irene buru-buru ambil ponselnya yang ada didalam laci, dia gerakin bola matanya liar—tujuannya calling Seohyun.

“Seohyun bangun.”

“Situ sinting ya?
astaga, disini malem.”

“Bangun dulu sebentar,
sebentar aja.”

“Iya kenapa sih??!”

“Sidang Sere besok apa bener?”

“Memang besok,
tapi mediasi dulu.
aku bakalan kasih bu Sere
waktu buat pikir ulang,
biar mereka bisa perbaiki
secara sehat.”

“Kamu temenku bukan?”

“Ya jelaslah aku temenmu.”

“No mediasi,
kamu yakinin Sere
soal keputusannya
buat pisah sama Mingyu itu bener.”

“Kuman gabener.
tapi iya juga sih.
karena aku temenmu,
jadi aku dukung.”

“Cola float cafe bulan,
aku yang bayar.”

Nyogok Seohyun memang gak harus pake emas batangan atau kunci apartemen. Cukup bayarin minuman kesukaannya yang punya sensasi soda juga udah seneng. Irene menang banyak.

Pertama—sekarang ini dia cuma jadi satu-satunya orang yang paling deket sama Wendy. Dan yang kedua, jawab aja sendiri.

Mereka gantian masuk kamar mandi, walaupun sebetulnya mandi berdua juga gak akan makan tempat banyak. Biar rumah sewaan juga luasnya gak begitu sempit, ya tapi Wendy gak mau. Irene juga gak minta. Besok mah boleh kali, itu manusia Bae yang bilang.

Breakfast Wendy yang buat, mereka makan berdua, sesekali ngobrolin Joy yang kalau masak seleranya pasti rasa gurih. Wendy sendiri sukanya pedes, dan Irene tetep suka Wendy sampai mati.

“Kamu mah ya, orang ngomong masakan malah larinya kesana. Pantes kak Seohyun sebut kamu idiot.” kata Wendy sambil geleng kepala tanda gak ngerti lagi sama Irene dan otaknya.

“Duh, tersanjung.” bales Irene dan Wendy terkekeh lucu.

Bisa berduaan dalam jarak tipis begini gak pernah ada dipikiran Wendy, dia inget dulu gimana Irene tatap dia seolah bu bidan itu sarang cahaya anak senja. Apa karena wajahnya yang selalu murung? Kan Irene belum tau siapa dia, siapa Mingyu dan apa isi di dalamnya juga.

Di tatap geli juga bukan hal asing lagi, Wendy gak pernah ambil pusing sama itu. Kadang orang selalu nilai orang lain dari luarnya aja, itu kasus umum. Wajar.

Tapi sekarang mungkin dia gak bisa acuh sama perhatian Irene, intinya disini Wendy merasa terbantu. Kalau gak ada Irene mungkin dia gak bakal bisa punya alesan buat pisah. Kata Rose harus kasian sama diri sendiri, orang lain di obati—tapi yang ngobatin gak pernah perduli sama dirinya sendiri, ya sama aja ampas.

“Sere, sudah cinta sama aku belum?”

Wendy mendongak sekilas, lalu tatap Irene gak ada jawaban, dia lanjut ngunyah makanannya sampai akhirnya ditelen jatuh keperut. Itu pertanyaan paling sulit yang pernah dia dapat.

“Sekarang belum,”

“Kalau besok?”

“Tergantung.”

“Besoknya lagi?” disini Wendy kasih senyuman tipis. Maksa ya nadanya.

“Kita liat aja nanti, bisa jadi aku yang kegilaan.”

“Semoga terkabul jawabanmu yang terakhir. Ayo ke makam.”

Ya niatnya memang ke makam Abraham. Makanan mereka juga sudah habis, tapi ponsel Wendy menyala tandanya ada yang calling. Irene sedikit bangun dari kursinya biar bisa tau siapa yang telefon Wendy jam segini.

“Mingyu ya?” tanya Irene. Parno.

“Yeri.” jawab Wendy terus ketawa, ngetawain Irene yang mukanya aneh.

“Iya hallo. Kenapa Yer?”

“Bu, tensi darah ibu halim itu normalnya berapa?”

“Halim??”

“Eh, maksudku ibu hamil.
Maaf keder.”

“Tensi darah ibu hamil itu
normalnya dikisaran 120-130.”

“Oooh, kalau 180??”

“Itu namanya hipertensi,
harus dirujuk kerumah sakit.
memang kamu lagi ngapain?
sama siapa??”

“Oalah begituuu,
lu suntik yang bener tai,
tangan lu gemeter ituuu”

“Yeri??”

“Iya bu maaf,
ini aku masih diklinik.
ada ibu hamil ngeluh
palanya muter terus mual.
Waktu di cek darahnya ternyata 180. Apa langsung dirujuk aja ya bu?”

“Kamu kasih ibunya
obat penurun darah,
kalau darahnya gak turun
baru kamu bawa kerumah sakit.
Nanti saya suruh Yves aja.
Kamu temenin sampe Yves dateng.”

Dan ternyata klinik sama Irene itu sama-sama ketergantungan sama Wendy. Ini alesan Wendy gak bisa lama-lama di Toronto.

_______________________________________










lalu yg disini juga kepikiran buat bikin judul baru Joy sama Yeri 😭

Marmalade (ReneDy) | Completed ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang