Circle

970 181 41
                                    







“Minkyung!”

Irene tangannya melambai keatas, posisi duduknya beralih bangkit begitu dia liat Minkyung yang baru masuk ke cafe bulan.

Minkyung bales lambaian tangan Irene, senyum lebar sekali dia. Sampai Abraham agak keseret karena jalan Minkyung yang terlalu buru-buru buat nyamerin Irene.

“Haduuuuh, kangen banget!” kata Irene setelah Minkyung sampe didepan dia. Mereka pelukan kecil, dan disini Abraham cuma jadi penonton. “Eh ini siapa Kim?”

Minkyung terkekeh sambil dorong kecil belakang kepala Abraham kedepan. Lalu ditepuk halus. Abraham modalnya cuma delikan males.

Masih gak tega liat Mamanya ditinggalin sendirian. Mood Abraham gak baik hari ini. Tapi Minkyung gak ngajak dia pulang.

“Ini ponakan aku kak. Dia baru datang dari rusia. Sekitar setengah bulan yang lalu.”

“Ganteng.” Irene senyum lebar liat wajah Abraham.

Abraham bales tatap wajah Irene. Dia mau bilang sesuatu tapi terhalang sama bahasa. Padahal mau bilang terimakasih doang susahnya minta ampun.

Si ganteng Sere sebetulnya ngerti orang-orang bilang apa, tapi ya gitu—susah dipengucapan aja alias belum terbiasa.















;

Wendy pulang kerumah sendirian setelah kabur dari rumah sakit anak tempat Mina kerja tanpa pamit.

Kejadian disana bareng Minkyung sedikit bikin dia stress. Imbasnya jadi kacau, udah gak masuk lagi mau ngapa-ngapain. Yang ada dikepala cuma pengen istirahat.

Dan waktu masuk rumahpun ternyata masih kosong. Irene belum pulang, padahal ini nyaris sore.

Iketan rambutnya dibuka, dia sedikit kibas rambutnya itu dan beralih hela nafas. Posisi dimeja dapur, dua lengannya jadi bahan tumpu badan disana.

Kalau niat merinci kebelakang sebetulnya gak mungkin juga Abraham masih hidup. Dia percaya Mingyu, percaya sekali. Mungkin apa yang Minkyung bilang itu betul; kalau anak yang dia bawa bukan Abraham.

Misalkan masih hidup, terus bayi siapa yang dikubur di Toronto?

Jangan karena satu kesamaan dari pigmen wajah terus bikin dia mengklaim anak yang Minkyung bawa itu Abraham. So stupid.

“Bu,” Wendy terlonjak kaget waktu Irene usap dua bahunya dari atas kebawah.

Irene pulang, beralih Wendy balik badan dan senyum tipis begitu Irene pasang wajah berseri.

Wendy bantu buka suit Irene; jasnya bahkan lebih dulu dibuka, disimpan disofa ruang tengah tadi.

“Kirain aku kamu udah pulang. Ternyata belum.”

Irene balik badan, tangannya beralih ambil telapak tangan Wendy—digenggam halus sama dia, bahkan dimainin sambil dicium beberapa kali. Wendy responnya cuka kekehan kecil.

“Tadi ada urusan kecil sama teman lama. Di cafe bulan.”

“Bukan klien?”

Irene lepasin tangan Wendy, dan mereka tarik kursi masing-masing lalu duduk rapih tanpa minuman.

“Dia klienku juga.”

Kepala Wendy ngangguk kecil, bahkan bibirnya membulat sambil bilang oh rada panjang.

Setelah itu mereka saling diem, Irene masih liatin wajah Wendy; sedikit bilang didalam hati sama persamaan pigmen keponakan Minkyung.

Tiba-tiba dia tamplak jidatnya sendiri, Wendy reflek mengernyit keanehan sambil lipat tangan diatas meja.

“Ih apaan sih.”

“Aku lupa nanyain nama bocah. Dianya diem mulu sih. Temenku juga repot sendiri sama aku.”

Karena Irene emang dasarnya gak begitu suka anak kecil kan, waktu anaknya disuntik matipun dia gak nangis. Jadi lebih ngerti dia mah, katanya gak usah diratapi. Bayinya begitu karena udah takdir, mau apalagi?

_______________________________________








Thx buat circleku Agna yg udh mmbantu criin visualisasi Abraham.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Marmalade (ReneDy) | Completed ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang