Mulberry Zen

967 185 71
                                    










Hari berjalan seperti biasa,

Biasanya Irene gak bisa disebut biasa yang diisi tanda petik bahagia. Biasa dalam artian datar, gak ada obrolan panjang, bahkan pelukan dan ciuman menjelang tidur aja sudah langka.

Wendy libur dari klinik, hari ini dua-duanya formasi lengkap didalam rumah. Irene liatin itu istrinya yang sibuk sama layar laptop diatas meja dengan mug coklat yang jadi teman minum.

Dia sendiri duduk jauhan, meja kecil pojok dekat jendela misalnya. Yah, dia  disana sambil tarik nafas teratur.

“Seberapa penting sih pasienmu,” Irene nyeletuk? Kalau kata Wendy ini sih kaya protesan khas abege.

Wendy lirik sekilas, lalu bungkam total. Milih sibuk sama pasien yang konsult di blognya dia.

Hari panjang mereka bawa sedikit perubahan, Irene perhatiin kuku-kuku Wendynya yang sekarang lebih meriah dan lucu sama nail art,

Warna tosca, ada serangga kecil semacam lady bird, dia gak suka itu kan? Warnanya bukan warna Wendy ataupun dia sendiri.

“Siapa yang hias kukumu?”

Wendy mengerling jengah, tutup laptopnya sembarangan dan digeser kesamping. “Yeojin, dia punya seni bagus. Dia suka nail art, terus aku jadi tester.”

“Memang kamu suka tosca?”

“Dia bawa warna itu doang kak, gak ada warna lain,”

“Di klinik?” mereka jadi saling tatap sengit,

“Ya gak masuk akal kalau kita main nail art di hotel.”

Tok, sarkasnya Wendy telak hajar dia habis-habisan. Irene beralih bungkam, gak menatap Wendynya lagi. Sekarang dia sibuk sama file kerjaan, matanya berembun seketika. Tapi ditahan.

Tosca kan buat Seulgi, Wendy cantik ya buat Seulgi. Udah.

“Ambilin minum, aku haus.”

Titahan Irene langsung dijalani, Wendy mengerang keras dulu—lalu jalan santai kearah dapur. Buka pintu kulkas dan diem sebentar. Milih apa kiranya yang pengen Irene teguk.

“Isotonik?!” ini Wendy sama nadanya yang nyaris kaya teriakan.

“Rodler ada kan? Rodler aja ambilin.”

Wendy ketawa kecil, ambil redler tanpa alkohol yang lupa dia buang kemarin.

Kaleng redlernya ada didepan wajah, sekalian Wendynya juga yang ikut duduk disana. Tatap Intens Irene yang pasang muka tanda tanya.

“Minum, abisin. Masih ada stok satu kaleng lagi.” tangan Wendy melipat didepan dada, mukanya gak nunjukin kalau dia baik. Tapi Irene acuh,

Tutup kalengnya dibuka, dan disini puncaknya emosi mereka naik. Wendy langsung pukul tangan Irene, dan dia cuma bisa lihat miris kebawah. Redlernya tumpah kemana-mana.

“OTAKMU MANA! PAKE!” jerit Irene frustasi. Bahkan dia udah berdiri, kertas filenya dilempar ke wajah Wendy.

Yah pokoknya kondisi mereka kacau.

Disini Wendy kasih Irene senyum kecil, kertasnya diberesin. Mereka sakit hati, entah siapa yang paling sakit.

“Harusnya kamu yang lebih ngerti caranya gunain otak. Kamu lagi ham—”

Plak!

Wendy terkekeh pegangin pipinya sendiri, malu nih kalau nangis. Diliatin nail art lucu buatan Yeojin kan pasti freak.

“Kamu lagi hamil, terus acara teguk rodler itu serius tolol. Walaupun itu non alkohol.”

Nah itu tadi omongan dia yang belum sempat selesai, semuanya demi kebaikan. Irene itu awam sama kesehatan, bahkan buat kesehatan dirinya sendiri.

Irene nafasnya ribut, bahkan Wendy bisa lihat telapak tangan dia yang gak bisa berenti gemeter. Duh, namparnya niat ya jadi gitu kan.

Wendy berdiri, masih senyum kan dianya. Terus Irene dapet usapan lembut diwajah, matanya berembun lagi—tapi yang jatoh duluan itu air mata Wendynya.

“Kamu bikin aku sakit hati kak,”

______________________________________













Klo lgi emosi emg lbih bagus berendem di lumpur aja sih alias bgsttttttt lu maen gampar2 aja pipi wanda 😠

Marmalade (ReneDy) | Completed ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang