Terbiasa hidup sama Mingyu yang kalau lagi marahan gak pernah ngeluarin usaha buat minta maaf, Wendy juga sekarang begitu sama Irene. Ini hampir setengah jam Irene diluar, entah dimana. Ponsel manusia Bae itu mati, total.
Disini Wendy peluk tubuhnya sendiri, hari makin petang, suhunya juga makin menusuk. Coat Irene bertengger dibelakang pintu, dia liatin lamat-lamat dan berakhir helaan nafasnya yang keluar.
Ponsel Wendy menyala, tertera disana nomor telepon umum.
“Iya hallo?”
“Sere, aku nyasar.”
“Nyasar dimana??”
“Enggak tauuuu,
mulutku berasap.
Tolongin.”“Gimana nolonginnya?
posisimu dimana aja
aku gak tau.”“Aku ditelepon umum.”
“Telepon umum banyak kak.
coba kamu liat sekelilingmu.”“Aku didepan cafe,
jln fort york blvd
em—apa itu!
aku gabisa bacanya, susah.”“Main kamu kejauhan,
habis ngapain ke cafe?”“Espressoan lah,”
“Biasa aja ngomongnya.”
“Iya sayang, espressoan.”
“Kesana naik apa?”
“Naik bus.
Waktu mau pulang
trnyata busnya udah gak operasi.”“Rasain.”
“Jangan gitu, jemputin ke Nancy.”
“Masuk cafe lagi kamunya
biar gak kedinginan,
nanti Nancy aku suruh jemput kamu disana.
Atau aku aja yang jemput?”“Jangan! Kamu masih sakit.
gaboleh.”
Walaupun Wendy maksa jemput juga gak bisa, dia gak bisa nyetir mobil. Mingyu selalu antar jemput kemanapun, kalau gak ada Mingyu ya pasti minta Dahyun.Hari kedua di Toronto—bersama Irene yang sok-soan main jauh ternyata ujungnya nyasar juga. Wendynya terkekeh sambil mainin ponsel, bayangin disana Irene pasti wajahnya panik dan prihatin.
Wendy.
Nancy,
Jmput kak Irene bisa?Sure.
Balasannya singkat, tipekal Nancy sekali. Lalu Wendy jalan kearah pintu buat ambil coat Irene, harum pelembut pakaian kuat banget disana. Kehirup sedikit Wendy langsung hafal ini wangi citrus.
;“Kesasar di negara orang enak gak?”
“Yang nanya gak punya hati.”
“Aku ketawa dulu boleh?”
“Ketawain aja akunya. Biar bener keliatan idot.”
Lalu Wendy beneran ketawa sambil tepuk tangan. Sedikit cerita tadi sehabis Nancy jemput Irene di jalan fort york blvd—ternyata mulut Irene beneran berasap karena suhu dingin pergantian musim. Nancy liatnya keanehan karena Irene kuat bertahan dengan pakaian tipis rumahan.
Yasudah disitu Nancy langsung anggap Irene itu gila.
Termometer ada dibelahan bibir manusia Bae, sesekali benda kecil itu dia gigitin, bahkan di buang sengaja. Tapi dimasukin lagi sama Wendy, biar dia tau Irene demam atau enggak. Soalnya hidung dia merah.
“Jangan di lepehin termonya, bebal ya.” kata Wendy agak kesel. Irenenya malah ngeledek pake (i).
Irene ini orangnya gak suka di-urusi. Karena dia beranggapan ya kalau dia sudah dewasa, bisa obatin diri sendiri dan gak perlu bantuan orang lain. Wendy yang denger statement Irene pun mnegernyit aneh. Ada ya orang model begini?
“Kupingku gak suka sama omonganmu. Oke sih lawyer memang pinter, tapi lawyer juga makhluk sosial yang pasti butuh orang lain.” kata Wendy lalu dia tarik termometernya dari bibir Irene itu kasar karena sebel.
“Ho, kalau begitu aku juga gak suka sama omonganmu yang tadi. Bisa gak gausah bawa-bawa Mingyu?” bales Irene gak mau kalah omongannya.
“Ini gak nyambung. Kamu gaboleh sangkutin kesana.”
“Egois.”
“Kamu yang gak ngerti Bae.” Irene naikin alisnya keatas tanda kaget. Bae katanya.
“Gak ngerti soal apa? Alibimu kebanyakan.” cecar Irene tetep gak mau kalah.
“Inget durasi adanya Mingyu disisi aku bisa? Mikir yang bener. Benerin bawa otak.”
Irene terkekeh, hidungnya makin merah dan selimut yang gunanya angetinpun jadi terlalu super efeknya, yang ada panas menajalar sampai ke otak. Omongan Wendy bener-bener bikin Irene mendecih keras.
“Yaya, otakku memang gak pernah beres.” katanya tanda nyerah. Wendy beralih hela nafas pelan beberapa kali.
Sekarang dia jadi nyesel karena hajar Irene pake kata-katanya yang mungkin aja bisa bikin hati Irene sakit. Posisi mereka hadap-hadapan, Irene duduk di sofa—sedangkan dia sendiri duduk diatas meja.
“Kesel ya? Maaf.”
“Bohong kalau aku gak kesel. Bohong besar.”
“Minta maaf Serenya.”
Sekarang malah Irene yang kasian, dia buang nafas kesamping. Termometernya dia ambil lagi dan diapit di belahan bibir yang sekarang warnanya ikut-ikutan merah kaya hidung.
“Minta cium. Boleh?” pinta Irene. Wendy ketawa kecil dan mulai majuin wajahnya biar bisa cium.
Yang kena pertama hidung Irene, lalu ciuman Wendy turun kebawah tepat disisi bibir sekilas, kalau ditengah susah karena ada Termometer. Ciuman Wendy juga naik keatas tepatnya dikening, agak lama untungnya.
“Panas, keningmu panas.” kata Wendy setelah ciumannya lepas.
Irene beralih tarik dua lengan Wendy itu halus, dia peluk kuat dan bergumam ngantuk. Irene juga minta maaf karena tadi malah nyasar, harusnya hari ini mereka ke makam Abraham.
“Its okay, masih ada hari besok. Gausah dipikirin.”
_______________________________________
perdana harus 2.