Semua gerakan Irene itu natural, Wendy ditarik lagi keluar. Tanpa obrolan, tanpa tanya ada apa dan dari mana?
Jadi dia nunggu nyaris dua puluh menit, macam orang idiot cuma dikasih kacang. Freak.
Irene buka pintu mobilnya, dia dorong Wendy masuk dan yang didorong reflek mengernyit sama kelakuan aneh Irene hari ini.
“Duh, ada apaan sih.” Wendy gak tahan sama kondisi begini, Irene lirik dia sekilas didepan kemudi; lalu pasang seatbeltnya pake helaan nafas panjang.
“Kenapa memang?”
Mata Wendy mengerling jengah, terus dia mencebik setelah Irene injak pedal gasnya tipis-tipis. “Ya kamu kenapa, kenapa mukanya galak?”
“Aku gak suka waktuku dibuang-buang gak jelas kaya tadi.”
Oh.
Bibir Wendy membulat, dia angkat bahunya itu sekilas. Bodo deh, salah sendiri ya tanggung resiko sendiri juga.
Perjalanan menuju klinik, dua-duanya fokus kedepan—bahkan Wendy gak tertarik bales tatap mata Irene balik. Isi kepala rasanya gak tentu. Wendy tau ini harusnya dibawa santai, ya tapi gak bisa.
Wendy itu pemikir berat.
“Kak, kalau nanti Ibu gak bisa diajak ngobrol gimana?”
“Tampar aja tampar.”
Mata Wendy mengerling jengah, dia mencebik sama jawaban Irene tadi. Konyol aja kalau tiba-tiba Ibu dia tampar, dia bukan Irene yang gampang tersulut kan. Kentank emang manusia ini.
“Aku ngomong serius.”
“Aku juga serius. Kalau orang gak bisa diajak kalem, ya jalan terakhir memang harus pake kekerasan.”
“Emang ada penerapan kaya gitu?”
Kepala Irene ngangguk. “Ada lah, para pelaku kriminal suka digituin waktu mereka di introgasi.”
Muka Wendy mode serius, nyimak parah. Jarang banget Irene ngomongin hal begitu. Biasanya dia paling males kalau cerita masalah kerjaan atau apapun yang berbau hukum.
“Sama polisi?”
“Yaiya lah, masa sama setan.”
“Dih?”
“Apa?”
Terus Wendy geleng kepala waktu mobil stop di lampu merah. “Gak.”
Irene senyum tipis sekilas, dia ambil telapak Wendy yang kenyal itu buat dimainin sesukanya. Ritual nih yang begini, setiap lampu merah adegan ini gak pernah ke skip.
;
Dan pas banget Wendy baru dateng, pintu ruangan nya baru dibuka; ternyata disitu ada Ibu yang lebih dulu duduk.
Wendy sebetulnya agak kaget, tapi dia masih bisa kasih Ibu senyuman kecil. Seperti biasa—wanita itu gak pernah bales gestur baik yang Wendy kasih.
“Ibu dari kapan disini?” ini Wendy nadanya kecil, takut kalau tiba-tiba Irene masuk. Tapi untung manusia Baenya udah berangkat kerja juga.
Wendy lepasin jas putihnya, digantung ditempat khusus; dan Ibu cuma diem perhatiin semua apa yang Wendy lakuin. Termasuk waktu Wendy iket rambut panjang nya sambil jalan duduk ke kursi.
Serenada ini memang cantik, dia punya aura lain yang mungkin gak semua orang punya. Ibu ngerti kenapa anaknya gila banget sama dia. Barusan dijelasin lewat bahasa tubuh, tutur dan sikap.
“Ibu baru masuk kesini. Ser, Ibu mau ngomong penting sama kamu.”
Terus Wendy senyum tipis lagi, dia ngangguk patuh. Sosok manusia didepan nya ini termasuk orang tua juga, dulu nya pernah nerima dia jadi keluarga.
Karena Wendy gak lupa caranya menghormati kok. Ibu ya Ibu, seburuk apapun dia waktu dulu, Wendy gak terlalu mikirin. Dulu dan sekarang perbedaan nya jelas.
“Aku siap dengerin apapun yang Ibu omongin.”