Wendy lupain masalah kemarin, bahkan hari ini hitungan ke-7 dari hari lalu. Irene pulang gitu aja, nurut karena memang diusir secara niat. Lalu lepas itu gak ada sapaan diponsel atau apapun namanya terserah. Mereka seolah primitive ponsel.
Klinik rasanya pengap, otak memproses semuanya soal manusia Bae, tapi demi tuhan—Wendy masih jauh dari kata cinta dia selamanya, ewwh.
Mingyu masih ada dihati. Karenanya itu sih. Simple tapi berat makna, ya susah.
Sepekan ini Wendy gak mau pake jas, tapi klinik total dia yang pegang. Rok ramplenya seperti biasa, warna hitam lucu. Yah selucu poninya yang punya warna hitam legam.
Yeri sama Youi tegang, serius tegang. Karena Wendy yang tanpa jas itu mode bahayanya hidup. Lalu mereka disatuin dalam satu ruangan yang sama.
“Cek, periksa infusnya.” Wendy nyuruh tanpa tatap, tanpa target. Wajahnya fokus didata atas meja.
Yeri sikut Youi—maksudnya kode, karena Youi junior jadi dia nurut.
Ruang persalinan suhunya dingin, yang punya gak bisanya begini; diam, sesekali ngomong buat nyuruh-nyuruh dan selebihnya fokus periksa tiga pasien didalam sini.
“Itu kamu periksa dede bayinya, cek trombositnya juga—udah naik atau belum.”
Yeri pengen nangis, gak suka kondisi Wendy yang bossy begini. Karena bagaimanapun nama harinya, Wendy yang pake jas itu lebih disukai orang klinik ketimbang Wendy tanpa jas.
Atau contoh kecilnya tadi pagi, dibangsal tiga ada Ibu hamil yang datang ke klinik dari subuh hari, disitu masih pembukaan empat, sampai sore pembukaan mulai diangka enam. Semuanya hela nafas capek, tapi Wendy tetap pasang wajah datar.
Nyali anak magang diuji disini, Wendy bakal berdiri dibelakang dan biarin anak-anak magang tanganin persalinan tanpa intruksi. Diliatin lamat, bener-bener tanpa arahan.
Beda cerita kalau tubuh mungil Wendy yang lengkap pake jas, senyumnya ada disana—bahkan raut wajahnya santai, semua persalinan dia bantu sampai beres. Jelas kan?
“Trombositnya masih sama bu,” Yeri jawab setelah beberapa saat cek bayi yang ada di incubator.
“Gula darahnya gimana?”
“Naik bu.”
“Kenapa nangis terus dede?” Wendy noleh, Yeri langsung megap. Takut disalahin padahal gak salah apapun. Kadang Wendy suka ada aja yang jadi masalah.
“Pipis, dedenya pipis.”
;
“Masih inget Mingyu.”
“Excuse??”
Wendy berdecih, ada wajah yang merunduk didepannya—itu Myoui. Dokter anak, teman lama. Gak selama Seohyun disamping Irene, Myoui Mina durasinya punya setengah cerita.
“Sharon, satu dekade bareng dia. Gak mungkin lupa secara mudah.” Wendy berkilah, as always.
“Sere,”
“Aduh, gak sopan kamu.”
Mina terkekeh, piring pastanya digeser kesamping dan makan siang ini jadi awal mereka ketemu lagi setelah beberapa bulan saling sibuk sama tugas.
“Kakak Serenada Wendy.”
Panggilan nama lengkap, Mina mengerling males dapat responan senyum lebar dari Wendy. “Kalau masih inget ya kenapa minta pisah?”
Pertanyaan ini telak bikin bingung. Baik Wendy sendiripun masih gamang soal kejadian kemarin, tapi ada satu hal yang memperjelas diri; jodoh gak se-transparan itu buat bisa dipahami.
Ada masanya untuk menyenangkan bareng Mingyu, lalu Mingyu juga gak begitu bagus buat kasih responsif selama dia dan Mingyu terikat dalam tali keluarga.
Wendy mikir itu dari dulu.
“Mingyu—dia pukul aku, ada cidera. Aku takut dan yah. Pokoknya begitu.”
Mina sedikit kaget awalnya, ini dia gak tau sama sekali.
Tangan kenyal Wendy digenggam halus, tau kan perasaan cewek lebih lembut dan sensitif daripada cowok. Dan Mina ada disini sebagai orang yang ngerti kondisi.
Wendy balas genggaman tangan milik Mina, jemarinya agak panjang dibanding punya dia sama Irene.
Duh, orang itu apa kabar ya? Seminggu tanpa kabar udah meninggal belum? Maaf.
;
Cafe bulan bukan markas, tapi bisa dibilang begitu. Irene ditemenin Seohyun yang sibuk sama berkas kerja, sendirinya cuma bisa hela nafas. Total banyak pikiran, bercabang entah lewat mana—lalu stop dinama Wendy, pasti.
“Telfon, ketemuan.” Seohyun suaranya datar, gak tatap dan lebih asik diberkas kerja. Dibolak-balik entah apa yang dia cari.
Saran yang dapet dengusan Irene nyaris puluhan kali dalam hari ini. Seohyun lirik sekilas wajah sobat yang merengut tanda jengkel sama sesuatu.
“Dia kapan ngertinya? Bahkan omongan akupun dia gak mau denger.”
“Lembek sih.”
“Dia lebih galak,”
Seohyun angkat bahu, percuma kasih saran panjang lebar—manusia Bae seolah iyain tapi gak serius, jadi mau ngomong betul-betulpun Seohyun keburu males.
Dimeja mereka ada dua mug teh jahe, planet gurita hujan nyaris satu jam yang lalu. Terjebak disini sama suara musik punya Jung Jinsoul si ikan cupang, suasananya total bikin ngantuk.
“Aku kira kamu jujur soal bu Sere, tapi ternyata enggak.” kata Seohyun sambil geleng kepala tanda gak habis pikir.
“Kamu tau papi kan gimana orangnya,”
“Kamu takut? Gausah minta dia buat jadi pendamping. Beres.”
Tisu meja dilempar, Seohyun untungnya pandai tepis. Irene gak ada balasan kalimat, tadi omongan terakhir Seohyun lumayan menohok.
Harusnya memang begitu, dia masih punya rasa takut. Mau nerusin hubungan pasti jalannya gak semulus apa yang ada dipikiran, apalagi konteks masalah ini nyambungnya ke keluarga langsung.
Orang rumah mungkin ada yang mendukung, sisanya masih ragu-ragu. Irene ambil point terakhir—soal keraguan yang dia sendiri gak tau hadepinnya gimana.
Sedangkan nama Wendy terus muter didalam kepala, betul-betul jadi pusat keseharian.
“Aku maunya dia doang.” Irene kalimat monolog, wajahnya kesamping, tepat diobjek turunnya air hujan. Seohyun modal merhatiin, ngangguk sekilas karena dia tau Irene memang jatuh buat Wendy.
Sedalam itu, entah. Masih gak terbaca gimana ceritanya.
Wendy.
Bukit meteor jam 7.
bisa?
gausah jemput,
Jln masing2.______________________________________
Sial,bukit meteor itu dimana 😭😭
Mina nama bulenya Sharon kan yaaaaaaa