Toblerone

1.6K 230 14
                                    

Kembali, jarak satu minggu rupanya ada lagi. Lepas itu ternyata semuanya senyap—Wendy bahkan gak mau satu kamar, dia jalan keluar dan ketuk kamar Yeri buat ikut tidur.

Ya Irene meringis, meratap diri sendiri didalam kamar. Satu minggu sedang dijalani manusia ini tanpa Wendy.

Kata Seohyun harus kuat, dicafe bulan yang nyaris tutup dua hari kemarin. Irene modal bengong, mug coklat yang serasa aneh didepan mata. Coklat apaan ya? Gak pernah pesan minuman ini karena kesannya yang terlalu kyut.

“Coklat bisa balikin mood, balikin fungsi otak manusia juga biar lebih realistis.” ujar Seohyun sambil sedikit sesap teh jahenya seperti biasa.

Irene manyun, sok sedih yang jatohnya konyol. Seohyun geli sendiri, asli.

“Aku mau cerita. Boleh?” yang ini harusnya jangan ditanyain, Seohyun berdehem panjang—tatap manusia Bae yang rautnya melas dari seminggu yang lalu.

“Aku tolakpun kamu pasti ngomong sendiri.”

“Nah iya.”

Lalu Irene sedikit benerin posisi duduk, hari libur tanpa suit. Merdeka lah mereka disini. Bahkan Seohyun ada perubahan digaya rambut, mau segeran sedikit supaya otak gak butek mikirin kerjaan terus.

“Bu Sere ya?” Irene ngangguk cepet, Seohyun beralih lempar sendok tehnya kedepan.

“Ya mau dengerin gak??”

“Ngomong aja sih, mumpung libur. Besok mana bisa kan. Aku sibuk.”

Sok sekali, Seohyun terkekeh. Kesan ramah tetap ada ya memang image Seo JooHyun begitu. Hari ini cuaca cerah, sedikit bikin puyeng karena terik matahari yang gak santai.

Irene ambil gestur rapih; lipat tangan diatas meja, sedikit condong kedepan dan niat cerita tadi ketahan karena bingung mau nyeritain yang mana dulu, beralih dengusan Seohyun yang keluar.

“Coklatmu minum lagi, abisin. Biar gak bodoh-bodoh banget.”

Irene terkekeh sekilas, lalu mugnya berakhir diliatin lama. Coklatnya gak semenarik espresso, terlalu manis padahal hidupnya dominan kecut.

“Kamu tau? Kata Sere, Mingyu banyak bantuin dia semenjak pacaran.” ujar Irene bilang ini tanpa ekspresi, inget malam satu pekan yang lalu. Ngobrol kecil bareng Wendynya yang terus sebut Mingyu.

Seohyun tangannya melipat didada, gestur santai. “Wajarlah kalau Mingyu banyak bantu. Dia kan dominan,  kepala keluarga. Bu Sere kalau gak dibantu Mingyu ya mau minta bantuan sama siapa.”

“Posisi pacaran kan gak seintens hubungan kalau sudah menikah. Sere masih ada papa mamanya, kenapa harus minta bantuan Mingyu? Gak bener.”

Disini Seohyun mengkerung, tatap aneh manusia Bae didepannya—yang kenapa bisa mudah kesulut nada keras tiap bahas Mingyu.

Oh, jatoh buat Serenada ya? Fakir cinta ada disini.

“Aku cuma bisa saranin, kalau ada omongan yang harus diomongin berdua, lebih baik selesein secepatnya. Kamu masih banyak pertanyaan kan?”

Kepala Irene ngangguk, dan Hallo dulu sama Hyunjin si barista kedua yang baru datang. Mereka saling lempar senyum tipis, akrab.

Irene hela nafas setelah gak lanjut lagi obrolan, Seohyun modal liatin tanpa suara dan cuaca cerah hari ini jadi teman melamun nyaris dua jam dicafe bulan.




;

Disini sama Mina, posisi hadap-hadapan ditemenin cola dua kaleng. Wendy ketawa, ngetawain kenapa di mejanya ada minuman itu. Padahal sudah habis setengah, kan doyan juga dianya—apalagi gratis.

Mina kebingungan dikursinya, tatap Wendy yang mukanya memerah. Kebanyakan ketawa tanpa sebab sama hal konyol, serasa pengalihan perasaan yang entah itu apa.

“Kak Sere, colamu gak aku masukin alkohol.” kalimat Mina sarkastik, Wendy beralih diem.

“Kenapa gak sekalian minum alkohol?”

Mina berdecih sekilas, tatap Wendynya itu jengah. “Sok kuat.”

Bahunya diangkat tanda bodo, Wendy gak jawab lagi. Klinik jadi tempat keduanya dudukin bokong setiap hari, Mina banyak tugas disini. Yah Wendy bersyukur karena dia jadi punya temen ngobrol, Rose itu semakin sibuk—bahkan tugasnya dipindahin ke kota lain.

Halah. Gak ada Roseanne, Sharon pun jadi.

Lalu coba buka isi kepala, disana ada rasa sesal dari seorang Serenada Wendy soal ucapannya minggu lalu. Irene itu total nantang, dan dia gak bisa ditantang. Dua-duanya sama keras, tapi Irene selalu jadi oknum yang kalemin diri sendiri biar ada sejuk.

Yah bahkan hari ini Wendy banyak buang nafas percuma, Mina bosen. Total, gak mau tau.

“Seminggu bahas Mingyu sama lawyer. Buset dah, bisa mati kebosenan aku disini.” Wendy refleks ketawa dan lempar tisu mejanya kearah Mina. Yang dilempar balas mendecih sambil bersidekap.

“Ya kenapa kamu mau dengerin, Sharon?”

“Kasian soalnya.”

“Ih sialan.” tisu meja dilempar dua kali, Mina reflek ngelak dan melet. Mukanya nyebelin.

Mina tau seperempat dari cerita, kilas balik masa dulu dan soal masa sekarang dia terlalu banyak absen. Gak ada yang jadi pertanyaan permanent, Wendy itu tipekal orang yang kalau dianya siap cerita pasti bakal buka suara tanpa disuruh.

“Aku cuma tau kak Mingyu yang jual motornya biar bisa biayain kuliah kamu di Akbid, heroik sih menurutku.” ujar Mina setelah lama saling diem dan bengongin kaleng cola sisa setengah.

“Dia banyak bantu, kata Irene jangan bahas Mingyu—ya aku gak bisa. Mingyu seberpengaruh itu sih dihidup.”

Omongan Wendy berat, mainannya soal konteks hidup dan Mingyu memang pantes ada dipikiran dia. Mina gak protes soal adanya Irene sekarang, karena durasi Mingyu disisi Wendy itu bukan lagi hitungan minggu.

Satu dekade gila, ya apa kabar sama durasi Irene? Setengah tahun aja belum genap.

“Terus, hubungan sama lawyer itu gimana?”

Wendy angkat bahu sekilas, “Gak tau, dia gak ada bilang selesai. Gak minta lanjut juga.”

Terkahir memang kalimat Irene total gantung, bahkan waktu mau pulang; Wendy dibiarin keluar sama Dahyun.

______________________________________




ya kaliannya aja yg gak jelas.

Marmalade (ReneDy) | Completed ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang