Deeper Deeper

1.1K 198 62
                                    



Boleh dibilang kacau, memang iya. Irenenya kondisi kacau gak ada tanding.

Setiap hari bolak-bolik rumah sakit; Wendy belum sadar, Hoseok bilang memang makan waktu banyak. Sebanyak apa sih Irene tanya?

Sehari?

Dua hari?

Lima?

Seminggu?

Ternyata nyaris satu bulan.

Irene buka satu kancing atas kemejanya didalam ruangan Wendy, matanya lekat tatap omeganya intens. Dia mulai gak perdulian, bukan sama Wendy, tapi sama kehamilannya.

Rasanya percuma bertahan kalau cuma sendiri.

“Kaya orang sakit jiwa aku. Sedih banget hidup dirumah gak ada kamu, kapan bangun?”

Hembusan nafas manusia Bae ini sukses usap wajah berpigmen milik Wendy, dia sedikit merunduk. Terus tatap wajah Wendynya tanpa kedip. Bahkan jempolnya asik usap lembut disekitaran dahi kesayangan.

“Sayang. Sayang sekali akunya.”

Gak pernah gak tulus kan kedengarannya. Sesayang itu bahkan dia sama Wendy, lebih sayang bu bidan daripada diri sendiri intinya.

Irene ubah posisi jadi berdiri tegap lagi, musik dari suara tabung oksigen disini terlalu lembut dan sedikit cringe. Irene hela nafas, beralih merunduk lagi dan tarik masker oksigen Wendy dan kecup lembut bibirnya agak lama.

Nafasnya masih teratur, Irene pasang lagi maskernya. Ciuman cuma sebatas itu—berharap lebih tapi ya harus sadar juga, Wendy lagi gak sadar kan.

Kening mereka menempel, Irene tutup matanya itu erat. Lalu bergumam panjang sendirian.

Keluarga cuma bisa lihat Irene dari jauh, Papi bahkan masih gak nyangka; Irene seberani ini hidupin anak orang. Ambil Wendy tanpa diskusi, dari sini—Irene pantes disebut penyelamat Wendy dari Mingyu.

Joy sama Yeri berdiri mematung, tangan mereka saling gamit, reflek. Nontonin Irene yang terus menerus cium wajah Wendy tanpa jeda.

“Cium terus dah tuh. Sampe abis!”

Yeri lirik sekilas wajah Joy yang masih tatap kelakuan Irene didalam sana. Gamitan mereka malah makin erat gak tau kenapa.

“Kalau aku kaya bu bidan gitu, kamu seruntuh kakak kamu gak?”

“Amit-amit.” Joy jawabnya gak pake tatap.

Yeri mendengus, “Kenapa begitu?!”

“Ya amit-amit jangan sampe kamu begitu. Nanti aku yang meninggal.”

Idiw,

Telinga mereka merah semua. Bahkan Joy sedikit ngeluarin suara deheman canggung. Yeri berakhir ketawa kecil, soalnya Joy liat dia pake gestur malu-malu.

Sementara Irene masih perhatiin Wendy, begitu bola mata Wendy gerak acak dia sedikit mundur dari posisi. Yang diluar masih sibuk sama urusan masing-masing.

Irene beralih tangkup wajah omeganya itu lembut, dia nungguin mata Wendy sampai sukses terbuka. Jarak mereka terlalu dempet, jadi Yeri sama Joy liatnya itu cuma ritual Irene bisik-bisik ke telinga Wendy.

“Sadar plis, sadar.” kalimat ini dibales gerak mulut Wendy yang sedikit menganga. Matanya masih berkeliaran kesana-kemari.

Irene akhirnya senyum lebar, ditemani kondisi matanya yang basah. Satu bulannya dibales setimpal; Wendynya gak hilang kemanapun.

Irene panggil semua keluarganya. Hari ini nyaris diujung penghabisan sore. Dan Irene yang biarin para medis ambil alih.

Dia posisi belakang, Yeri yang paling penasaran. Masker oksigen Wendy mulai berembun, dokter akhirnya lepas benda itu dari mulut omeganya.

“Say A.”

Titahan dokternya cuma masuk kuping Wendy, dia beralih raba perutnya. Kaya nyari sesuatu.

Mami liatnya berdebar, suasananya terlalu baru. Apalagi Wendy yang terus bungkam dan lebih memilih buat usap perutnya terus-terusan.

Mungkin dia laper kan, asumsi Joy begitu sih.

“Bayi aku mana.”

Irene terus ngulang kalimat pertama Wendy barusan. Ternyata Wendy cari bayinya, bukan laper. Wendy mulai nangis, bahkan kakinya nyaris nendang dan nekuk keatas.

“Bayi aku kemanain! Kenapa perutku begini—”

Irene gigit bibir bawahnya kasar, kondisinya mulai ricuh. Gak ada yang nyadar Irene keluar dari sana akhirnya.

______________________________________















Caper :v

Marmalade (ReneDy) | Completed ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang