Dokumen kertasnya diremat kasar, digulung-gulung sama Wendy sampai jadi bentukan bola lalu dilempar keras kesisi.
Irene menunduk sekilas, Wendy beralih bangun dan suasanya seketika jadi tegang.
“Kenapa kamu gak bilang sama aku.”
Oke, Wendy bisa kontrol emosinya. Tapi bahu Irene ambil gerakan ngangkat keatas. Mungkin Irene bingung harus jawab apa, takut jawabannya gak masuk akal segala macem.
Mereka jadi saling tatap, posisi Irene masih duduk.
“Gak penting.”
“Apanya yang gak penting?”
Laptop Irene ditutup, dia tatap lagi Wendy yang masih pasang wajah sangar.
“Dokumen harta itu, gak penting.”
Decakan Wendy keluar. “Itu penting kak, itu—”
“ENGGAK!” Wendy mengerjab kaget, posisinya jadi agak mundur. “Kalau aku bilang gak penting harusnya kamu ngerti. Dokumen itu gak penting Sere.”
Senyap beberapa detik, Wendy lalu ngeluarin kekehan kosongnya yang kedengeran seperti orang sedang menghibur diri sendiri.
Dia tau Irene pasti punya opsi dari tindakannya sendiri. Wendy tebak pasti Irene lakuin ini karena dia gak mau tersaingi Mingyu. Irene milih bungkam karena masalah harta dari Mingyu.
Yang mungkin aja bisa bikin Wendy memilih buat ambil dan gak mau nyerahin semuanya ke Ibu.
Inget Irene gak suka dibandingi apapun sama Mingyu—dari mulai hak kepemilikan, cinta dan kasih sayang. Juga materi.
Irene pribadi yang marukh, serakah soal apa-apa tentang istrinya.
“Aku gak suka Ibunya kasih dokumen itu ke kantorku, dia rendahin aku.”
“Kamu lihat harga diri aku Sere.”
“Kalau ngomongnya gak melipir kemana-mana mungkin aku udah kasih tau kamu dari waktu itu.”
“Dia pikir aku gak bisa kasih kamu harta?”
“Aku bisa.”
“Bahkan semua hartaku atas nama kamu semua.”
“Aku gak perduli aku nanti gimana, aku gak perduli. Demi tuhan, demi kamu.”
“Cuma plis, gausah marah karena ini.”
“Iya aku tau aku salah. Aku minta maaf.”
“Tapi aku serius, aku gak suka jadi mata perbandingan kamu lagi.”
“Jadi aku mohon sama kam—”Irene stop ngoceh.
“Siapa bilang aku pingin harta Mingyu? Siapa yang bilang?”
Jengah rasanya tadi dia denger Irene ngomong apa kan. Dirasa dia bener-bener gak bisa ngertiin Irene.
Wendy ngerti Irene, manusia Bae ini pasti sakit hati waktu Ibu datang ke kantor pake bahas harta. Background ini punya latar gelap memang.
Mingyu mantan suami istrinya, dan Ibu minta dia buat urus semua harta.
Yang jadi pertanyaan itu; kenapa gak ke lawyer lain aja? Seohyun misalnya. Pengen banget dia keliatan dungu? Mikir.
“Sere, aku gak mau bahas ini. Kamu masuk ke kamar.”
Irene siap-siap seret Wendy keluar, tapi Wendynya langsung tepis tangan Irene itu kasar.
Malam ini Irene total jengah, dan Wendy juga sama. Dua-duanya puncak emosi, dan yang nangis duluan itu pasti Wendy. As always.
“Jangan nangis, aku minta maaf.”
Wendy geleng kepala, bahkan dia usap air matanya kasar. Pigmen wajahnya sedikit menghilang karena perubahan warna dari putih pucat ke merah yang dominan.
Wendy juga sakit hati karena secara gak gamblang Irene tuding dia masalah warisan dari Mingyu. Wendy sih bodo amat aja padahal.
“Kamu ngerti gak sih kenapa bisa nama anak aku kecatet disana, sementara dia udah meninggal.”
Selang beberapa detik gak ada jawaban. Irene tatap wajah Wendy yang total merah sama pertanyaan yang dia gak tau jawabnya pake kalimat apa.
Wendy pukul pundak Irene sekali, pake emosi. “NGERTI GAK!!”
Nangisnya makin keras, dan Irene makin keliatan dungu.
“Abraham meninggal tanggal sembilan februari, tapi dokumen itu dibuat satu bulan berikutnya setelah anakku meninggal. Logikanya, apa orang yang udah gak ada bisa dimasukin kedalam surat wasiat? Kalau iya, buat apa??!”
Yah, Irene memang kentank. Sok ngerti apa yang dia urusi. Nyatanya gak gitu. So stupid.
Wendy terus pukul pundak Irene yang gak respon apa-apa lagi selain kondisi muka yang zonk! Loading parah Irene disini.
“Sorry.”
“It's okey, gapapa.”
Insiden Wendy tabrakan sama anak laki-laki yang Minkyung bawa jadi bikin dia semakin yakin—Abraham anaknya masih hidup.
________________________________________
Bahlul emang si irin. Istipar lu jgn bucin2 bgt. Tolil!