Mr. Blue

1.3K 219 21
                                    







Sebelum kejadian asik selesai, sesuatu yang bawa suhu mengambang tentang perasaan dan empati ternyata muncul tepat detik ini.

Irene rahangnya mengeras, gelas martini ada ditangan dan Wendynya hujan wajah melas.

Sore, kabar Kim Mingyu meninggal dunia dibawa angin planet gurita sampai depan pintu.

“Izinin aku kesana, aku gak bakal lama. Aku janji!”

Irene gak ada respon obrolan, bahkan pandangannya masih seru hitung bulir minuman didalam gelas bening. Martini jadi opsi efek bombastis, susah payah dia teguk—bahkan maksa dorong jatuh kedalam perut pun rasanya perih di kerongkongan.

“Janjimu kosong, Mingyu gak bakal sedetik kamu liatin. Percaya deh sama aku.” jawabnya enteng.

Ya apa kabar sama Wendy, bahkan yang nulis gak bisa sisipin pelengkap satu kalimat semacam akhiran tanda tanya.

Huh,

Mingyu konteksnya berat bos, inget.

Wendy beralih bangun dari tumpuan dilutut, kulitnya disana ninggalin bekas merah. Irene perhatiin sambil pasang wajah datar, seolah kabar duka tentang teman lama yang dulunya baik itu jadi bisikan paling dia takutin diam-diam.

“Kamu gak ada hati.” lempeng, Wendy bilang ini nadanya santai tapi nusuk. Irene angkat bahunya jadi jawaban.

Satu orang sukses dikunci, Wendy balik badan dan tatap dirinya sendiri dicermin besar. Kamar total remang, sore hari yang bawa kesan beda dari sore kemarin.

Irene mikir serius dibalik punggung Wendynya yang naik turun, orang nangis didepan mata itu kasus jarang, lalu oknum ini ternyata kesayangannya sendiri.

Oke ini repot, sedikit ngeselin karena Irene takut ini dan itu. Dia berdehem isyarat pengen di notice, Wendy tengok kebelakang dan itu pun cuma sebentar.

“Ambil coatku dipintu.”

Wendy awalnya diem, gak ada usaha apapun buat respon. “Aku pingin keluar, ikut berkabung disana. Kamu ngerti gak kak??!”

“Serenada. Ku kasih apapun yang kamu mau, termasuk keluar rumah.”

Berasa jin 1001 malam ya Irene. Wendy masih matung dan detik selanjutnya adalah pergerakan cepat kaki putih mulus yang jalan ke arah pintu, coat tebal warna coklat berbau citrus punya Irene dia ambil.

“Dear beloved, thank you.”

Skak, Irene K.O

Bahkan ada hadiah lain berupa kecupan kecil berkali-kali dipipi selain kata manis yang tadi. Irene senyum kecil, tulus.








;

Posisi sore menjelang malam sekarang ini tepat di kediaman Mingyu. Volume orangnya lumayan banyak—Mingyu tipe orang yang punya lingkaran pertemanan luas.

Semuanya menggelap, Wendy dipunggungi Irene sebagai formasi depan. Ada Ibu yang wajahnya shok, kabarnya Mingyu bunuh diri.

Terus Irene matanya sayu, sedikit mikir tentang apa yang Mingyu alami setelah ada dia yang jadi pemain baru.

Ngitungin kadar cinta buat Wendy jelas bikin gerah, tapi disini mungkin Mingyu memang butuh Wendy buat hadepin siklus suasana yang sama kacaunya seperti bumi.

Moment pasca bercerai itu gak gampang, bukti nyata ada didepan wajah berupa nama seorang Serenada Wendy yang ternyata susah lupa soal Mingyu.

Irene perhatiin Wendy yang jalan mendekat ke peti mati, lihat ini berasa rewind apa yang Seohyun ceplosin tempo dulu.

Tangannya masuk coat cari hangat, gak perduli sama tatapan Ibu yang menusuk—Irene acuh disini.

“Sere,” ibu panggil, Wendy reflek noleh dan bales pake senyuman kecil. Sedihnya paling kentara.

Dan Irene sadar penuh, raut Ibu jelas ada sesal yang mendalam. Dia disini jadi pemerhati, Wendy terus bincang kecil dan lupain kalau ada manusia Bae yang gak mau jadi orang asing sendirian.






_______________________________________





Kalian pst g bs ngaji.
y ak mh jjr sih aku ndak bisa doa kunut :))

Marmalade (ReneDy) | Completed ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang