Appetizing Acres

942 180 50
                                    







Bom, jarak mereka meledak kemarin.

Siapa bilang semuanya bisa berjalan seperti biasa lagi? Wendy bahkan puasa ngomong, kegiatannya cuma duduk depan cermin—nyisir rambutnya sendiri dengan lebam diujung bibir yang jadi pemanis.

Manis kan? Warnanya mencolok, sedikit ungu; dan kalau dia sapu foundation diarea situ pasti langsung meringis.

Irene sendiri gak ada usaha minta maaf, entah. Otak manusia itu ada sedikit gangguan mungkin. Toh Wendy juga gak begitu pengen ada kata maaf, gak mau ngobrol apapun intinya.



;

“Aku ngerasa jadi manusia paling berdosa, dulu aku kasih point bagus soal kamu buat bu Sere. Biar dia mau sama kamu, ya tapi kamunya bajingan gini. Mati sana.”

Seohyun lempar lembaran tisu bekas lap bercak cola floatnya kearah Irene. Lalu melenggang pergi tanpa pamit ala sobat. Irene buang muka, gak suka disudutin apa kesalahannya.

Padahal dia ajak Seohyun kesini bukan buat dijadiin bahan kekesalan, sekedar tukar pikiran karena isi kepala terlalu kacau. Itu aja sih,

Dia down? Disana Wendy lebih down.

Jangan sok jadi pemikir berat deh ya, brengsek benar manusia Bae ini.







;

“Kalau aku ajak dia baku pukul mau gak? Tanganku gatel nih kak, pingin kampleng aja rasanya.”

“Buang tenaga, gak usah.”

Mina buang nafas kasar, tangannya melipat didada dan biarin punggungnya menyender dikursi kantin klinik.

Wendy gak ngomong apapun lagi, dia sibuk aduk pastanya, sedetik dia bisa melamun, seterusnya pikiran entah dimana. Stress gila, jas putih aja rasanya gak bawa pengaruh apa-apa.

“Se-emosionalnya orang waras, mereka gak bakal main tangan. Kalau dia berasa beast sih gak tau,

terus aku mikir ini kak—lawyermu gak mungkin jadi pasien Mingyu dalam jangka panjang kalau dia mampu kontrol emosinya sendiri.”

Wajah Wendy reflek terangkat, menatap Mina yang ada didepan. Advice Mina memang selalu bawa-bawa sisi rasional, tapi disini Wendy nyaris bosan sama pembahasan sekarang.

“Balik ke dalem yu. Gak usah ngomong lagi, otakmu nanti ikutan kacau.”

“Hish!”

Wendy terkekeh sama dengusannya Mina. Duh, tiba-tiba bibir sakit karena senyum terlalu lebar. Mina lihatnya ikutan meringis kan. Bodo.

Harusnya waktu cerai sama Mingyu, dia langsung tembak aja Wendynya. Hidup rukun sama dia tanpa teriakan dan pukulan, terlambat sih tapi. Mina kalah dari Irene sebelum perang.

Miris.








;

“Gak usah iket rambutmu, lebamnya biar ketutup rambut. Masalah kita biar kita yang beresin. Mami sama papi gak usah tau.”

Wendy kedip mata sekilas, posisi duduk didalam mobil—nyaris iket rambutnya dan gak jadi begitu Irene bilang statement tadi.

Dia tegapin badan, gak jawab omongan Irene seperti biasa. Iket rambut warna hitamnya asik mengalung di pergelangan tangan dan mobil langsung ditancap gas.

Dua-duanya menatap kedepan, mata Wendy berembun, lidah rasanya kaku gak bilang maaf. Selalu terbisa bilang maaf duluan semenjak hidup bareng Mingyu.

Ya karena Wendy tau, Mingyu punya emosi yang gak stabil. Mingyu yang buat kesalahan, Wendy yang minta maaf. Selalu.

Terus Irene? Irene itu sehat, akalnya sehat juga. Apa satu kalimat maaf bisa bikin dia meninggal? Wendy buang muka kesamping, liatin jejeran pohon yang seolah lari kejar-kejaran.

Air matanya lolos, batin dia mode darurat. Irene disamping sana tetap sama wajah datar. Tujuan mereka rumah Mami, pemeriksaan rutin.

Mungkin ada sedikit obrolan serius nanti, prihal hamil anak siapa.

______________________________________














Haha, suruh tutupin luka.

Marmalade (ReneDy) | Completed ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang