Thunder Bolt Vanilla

1.6K 235 10
                                    

“Ya, bahkan kamu gak mau gamblang soal statusku.”

“Sere, nanti.”

“Sekarang sama nanti ya apa beda? Coba jawab aku tanya tadi.”

Nyolot, kadang Irene mau nyerah aja rasanya berhadapan sama Wendy yang segini nantang. Dalam artian; gamblang bilang soal status bekas orang—tanpa rahim, didepan Mami sama Papi. Bisa?

Helaan nafas frustasi Irene jawab semuanya, Wendy tau. Baenya gak bisa sekarang bilang itu, atau memang gak akan pernah bisa.

“Aku gak minta yang muluk,”

“Diem kamu, aku mikir ini, ada usaha buat bilang. Tapi nanti.” nadanya keras, lawyernya mode hidup.

“Iya nanti, janganlah sekalian.”

Kalimat final, ya gimana? Wendy gak suka situasi ini. Didalam mobil menuju pulang, saling balas omongan pake nada gak biasa. Total panas.

Kilas balik tadi saat dirumah manusia Bae setelah ngobrol ringan ditemani orange jus sisa setengah. Mami keluar dari kamar, dia niat pulang—terus ada omongan Mami yang bikin kaget.

“Lajang kan? Bae juga lajang. Sama-sama sendiri, bagus lah jadi duo. Cocok.”

Sekarang ngerti, jelasnya dia paham; Irene gak jujur soal dia yang ternyata bekas orang lain, lalu kemarin-kemarinnya lagi Irene ngapain aja dirumah? Membual?

Mobil stop didepan lampu merah, Irene ambil tangan putih kenyal milik Wendynya itu lembut, bahkan diciumin beberapa kali, tapi yang punya malah mendecih dan buang muka kesamping. Sok dramatis.

Tapi kemudian Wendy sadar, dia gak ada apa-apanya jadi manusia—terlalu banyak kesalahan. Maksa Irene buat ngomong yang sebetulnya depan keluarga itu mustahil, Wendy tau dan sadar diri.

Ya kadang inscure juga, dianya berasa kecil—sedangkan Irene pasti bisa milih pasangan sesuai apa yang dia dan keluarganya mau.

“Aku gak mau ada hubungan,” Wendy nyeletuk santai, gak perduli sama perubahan wajah manusia disebelahnya.

“Gausah ngawur.”

“Gaklho, aku serius.”

“Diem,”

“Nyesel kamu nanti, keluargamu juga pasti gak bakal mau ada aku yang jadi bagian.”

Irene wajahnya datar, natap lurus intens sekali. Dalam.

Yang begini sukses bikin kerja paru-paru Wendy ngebut. Lampu hijau nyala, mobil Irene jalan lagi. Bagus, bahkan kecepatan mobil nyaris kaya balapan mobil f1 disirkuit.


;

Dan pas masuk rumahpun mereka saling mengkerung, jalan barengan tapi terasa jauh. Wendy stop tepat dibibir pintu, bersidekap galak tatap manusia Bae yang ada didepan mata pasang wajah tanda tanya.

“Gausah masuk, sana pulang.”

Irene berdecih sekilas, ikut bersidekap dan maju satu langkah. Jarak mereka hutungan centi dari hidung ke hidung. Bahkan aroma citrus manusia Bae gampang masuk ke otak Serenada. Manis.

“Gak ada sopan santunnya kamu, bidan bukan?”

“Urusanmu apa soal gelarku?”

“Bacot, berisik. Haus aku mau minum.”

“Gak, sana pulang.”

Disini Irene makin gak bisa tolerir, sikap Wendy total bikin jengah. Masanya ada buat dibahas bareng-bareng, marah begini ya gak jelas bahkan ketemu ujung penyelesaiannya dimana.

Sebelum pintu beneran ditutup, Irene sedikit tahan pake dua tangan, Wendy menjengit kaget ternyata tenaga Irene segitu kuatnya. Shok jelas.

“Kita omongin baik-baik. Kepala dingin.” Wendy geleng sekilas dan pintu ditutup kasar kaki Irene.

“Gausahlah dibahas,”

“Harus.”

“Jelas kamu bohong sama mami kan? Gak jujur soal aku, nunggu apa coba? Nanti kalau diterusin malah jadi senjata makan tuan. Mau? Mamimu sama ibu Mingyu mungkin sama.”

Sekilas Irene mendinginkan otaknya sendiri, Wendy kalau dilawan omongannya gak bisa kontrol, semua lepas—didepan mata begini, Irene cuma bisa diem. Ya memang salah dia, gak jujur ke orang rumah kecuali Joy sama Yeri.

Irene juga takut respon dari penjelasannya nanti malah gak sesuai harapan, intinya takut gak ada restu.

________________________________________





nah.

Marmalade (ReneDy) | Completed ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang