“Kamu udah tau istrimu urus dokumen wasiat?”
Pertanyaan langsung dari Ibu, Wendy hela nafas sedikit lalu ngangguk tanda iyain. Denger begituan jadi gedeg. Sumpah.
Ya tapi ini jadi peluang juga buat dia, tanpa Wendy samperin ternyata Ibu dateng sendiri. Ibu pasti tau kronologis yang enggak Wendy tau. Pasti.
Beralih liat jam di arloji yang melingkar di pergelangan, Wendy hitung maju durasi ngobrol sama Ibu dalam sepuluh menit. Praktek sebentar lagi. Dan adanya Ibu disini sedikit menghambat jalan nya waktu.
“Yah, aku udah tau dan aku sama sekali gak mau harta Papanya Abraham.”
Tepat,
Sesuai apa yang Ibu Mingyu duga—Wendy gak akan mau harta anaknya walau secuil. Oke ini aman, karena dia tau betul watek Wendy kaya gimana.
Selow, tapi akurat.
Ibu ngangguk ngerti, dan obrolan ini masih panjang kalau boleh tau; sorry buat waktu Wendy yang mungkin aja bisa habis lebih dari sepuluh menit.
Sekilas Wendy liat Ibu terlalu banyak diam, bahkan pandangan nya selalu liat ke telfon diatas meja.
“Bu, Abraham masih hidup kan?”
Gesture Ibu langsung bisa dibaca; wanita tua ini sedikit rubah raut wajah, duduknya juga agak geser kekanan. Dan masih gak mau tatap wajah Wendy.
“Ibu kesini buat bilang ke kamu, suruh istrimu cepet urus dokumen wasiatnya. Bukan buat bahas seseorang yang udah gak ada. Sere?”
Dan itupun nadanya sedikit galak, disini Wendy bedecak, kasus pertama selama saling kenal.
“Tolong? Ibu bilang tolong sama aku coba.”
Titahan Wendy dibalas bungkamnya Ibu selama beberapa detik, bukannya Wendy gila hormat—cuma buat soal yang ini Ibu memang harus nurunin harga dirinya. Sebenci apapun itu dia sama Serenada,
Kata tolong itu buat Irenenya. Gak sopan aja kalau Ibu bilang polos sok nyuruh begitu, Wendy hormat sama Irene karena Irene memang pantes buat dihormati.
“Janjiin itu—”
“Ya aku janji, janji. Mana kalimat tolongnya?”
Lalu decakan Ibu juga keluar, dan raut wajahnya juga semakin jelas kalau dia gak suka sama sikap Wendy.
Tapi apa boleh buat kan?
“Ibu minta tolong. Sama kamu, sama istrimu juga.”
See? Gampang kan? Kalimat kecil begitu gak akan bunuh siapapun. Irene dapet kalimat tolong dari manusia egois.
Disini jelas perbedaan dari mental Wendy yang gak selemah dulu. Ibu mikir ini dari tadi, ternyata Wendy keliatan lebih kuat dan percaya diri dibanding waktu bidan ini hidup sama anaknya.
Kebebasan memang berpengaruh sih, Wendy dan Irene. Aduh, tolong.
“Surat wasiat itu dibuat setelah Abraham gak ada, akal sehat Ibu main kan? Coba filter lagi omonganku yang ini sampe Ibu dapet intinya.”
Bahasa tinggi, Serenadanya keluar. Mulut sama otak Ibu seketika gak berkutik, sekarang Ibu sadar—yang dia hadepin bukan Irene alpha tua yang lemot.
Ibu berhadapan sama induk lain. Yang instingnya pasti lebih bisa main sama kasus ini dibanding Irene.
Telak bungkam, total gak bisa ngomong. Bahkan buat ambil nafaspun rasanya Ibu serba salah. Wendy gak bodoh, dan Ibu tau itu.
Wendy tarik nafas jengah, matanya lekat perhatiin gerak-gerik mantan mertuanya tanpa kedip.
“Gini, aku bakal tanda tanganin surat wasiat itu buat Ibu, supaya semua harta Mingyu masuk brankas Ibu semua. Tapi kita barter sama kejujuran Ibu—
Abraham anakku masih hidup kan? Bilang sama aku kalau dia masih ada.”
Akar masalahnya Ibu tebak kalau Wendy udah bisa lihat secara keseluruhan. Jadi sangat dimaklumi sekali kalau Wendy bisa ngomong kaya tadi.
Itu mulut Ibu awalnya kebuka buat jawab, tapi ketahan begitu suara ponselnya menyala.
Kejahatan didalam keluarga nyaris naik kepermukaan. Untung Minkyung telfon.
'Ada apa Minkyung.'
'Abraham sama Ibu gak?'
Disini antara mata Ibu sama Wendy jadi saling tatap. Sedangkan ponselnya masih menempel dikuping.
'Gak, Ibu gak sama dia.'
'Tolong bantu cari sekarang Bu. Abraham kabur.'
'Mana mungkin kabur, kamu apain. Jangan main tangan sama dia ya. Jangan kamu bentak Minkyung.'
'Ck, bawel.'