Berry Choc' Lava

935 184 61
                                    





Wendy sukses dibawa kedalam, rumah Seulgi masih yang dulu. Sebelahan rumah ini ada rumahnya dia bareng Mingyu,

Lampunya menggelap, Wendy liatin sendiri dibalik jendela. Rasanya mau mati lihat kesana, banyak yang berseliweran—adegan demi adegan, semunya masih keliatan jelas.

Bahunya ditarik, coatnya dilepas; Seulgi yang jadi pelaku.

“Inget? Stop ya, aku ajak kamu kesini bukan buat rewind apapun. Stop,” Seulgi bawa intonasi lembut, coat merah maroon Wendy sukses lepas dan gorden jendela berakhir tertutup.

Wendy sibak rambut sebahunya kebelakang, dia senyum kecil. Liatin punggung Seulgi yang sibuk tutup akses keluar.

“Seulgi, gimana soal Krystal?”

“Kamu perduli sama dia?” dacakan Seulgi keluar, mereka jadi saling hadap—lalu Seulgi buka ikatan rambutnya, dibiarin terurai.

Sementara Wendy memilih bungkam, dia terkekeh, liatin kebawah sekilas. “Maaf, aku cuma takut.”

“Ser,”

“Yayaya, gausah ngomong lagi. Aku tau, aku tau.”

Seulgi perhatiin bidan didepan matanya,

Dibiarin jalan buat duduk sendiri, bahkan pelipisnya dipijet kasar. Lagi-lagi Seulgi hela nafas. Beralih dia mendekat, ikut pijet apa yang bikin sakit.

“Tegang?”

Wendy mendogak, terus kepalanya ngangguk kecil. “Semuanya bikin tegang.”

Dan itu jawaban yang Seulgi takutin, bahkan matanya masih sembab—merah pula, kontras sama warna kulit kan,

Diperjalan total hening, ya Seulginya gak mau ngomong soalnya Wendy sibuk tatap keluar jendela mobil, tapi semuanya memang gak bakal bisa selesai sama keheningan. Wendy tau Seulgi ajak dia kesini pasti bawa obatnya.

Yah semacam pelukan erat kaya sekarang. Tegangnya hilang sedikit,

Seulgi peluk dia erat, posisi berdiri. Sementara dia masih duduk.

Dan malam ini banyak kata sesal yang keucap didalam hati Seulgi, kecewa karena dulu memilih ngalah. Dua kali kejadian yang sama, mengalah buat Mingyu, terus Irene.

Yang semuanya gak ada sisi seriusnya sama sekali.

Ternyata apa kata pepatah soal penyesalan selalu datang diakhir itu nyata.

Wendy cuma bisa cari hangat, Seulgi bawa suhu yang enak. Aromanya enak juga, bibirnya digigit kecil, otaknya memproses suasana sekarang.

“Rasanya gila gak ada kamu. Aku butuh kamu,”

Dan tau? Seulgi nyaris nangis denger kalimat ini lagi. Pelukannya mengerat, Seulgi bahkan kecup leher Wendy sekilas. Butuhnya Wendy itu jarang keluar, gak bakal bersuara kalau semuanya masih bisa dia tanganin sendiri.

Tapi memang hari ini dari kemarin; Wendy lagi ada di fase bawah, mentalnya di uji. Jalan sendiri itu dia gak mungkin bisa, dan Seulgi tau ini.

Satu kali tarikan jadi saling hadap, Wendy tangannya mengalung ringan dileher si beruang—masih cari nyaman, yah ambigu juga kayaknya.

“Kalau mau nangis, nangis sekalian. Lemparin mug disini boleh.”

Mata mereka saling ngunci, Seulgi sama tatapan teduhnya. Malam begini ya bawa suasana sedikit manis, tapi Wendy masih inget status buat siapa dia hidup di bumi. Masih.

Dan ini super susah, bahkan buat buang muka kesamping aja Wendy gak bisa. Seulgi ada disini, perannya buat jadi penenang berkedok sahabat, Serenada hatinya berontak; Seulgi cinta pertama, dan itu punya judul mutlak.

“Kamu tau bear? Aku minta lawyerku buat punya anak, aku ngomong baik-baik. Dia langsung tolak mentah, terus stethoscopeku jelasin semua. Ya aku tanya sama diri sendiri, aku ini siapanya dia?

—Kalau dia bisa gini kenapa kemarin dia tolak mentah-mentah apa mauku. Kenapa gak main epic, dia bisa tutupin ini kalau dia mampu berfikir sebelum bertindak.”

Omongannya berat. Seulgi responnya cuma muka loading, mati-matian dia nyerna kalimat panjang tadi. Wendy beralih ketawa kecil, walau hatinya masih mencelos.

______________________________________










Berlayar lah udah :v

Marmalade (ReneDy) | Completed ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang