Masih waktu sore, Minkyung ketuk rumah Ibu; tanpa Abraham. Suitnya tetap terpasang, rambutnya juga tetap terurai. Pembahasan masalah kecil bareng Irene tadi jadi bawa dia kesini.
Pintunya terbuka, Ibu reflek pasang wajah seneng. Tapi Minkyung gak merubah ekspresinya dari tadi, tetap datar sebelum Ibu buka pintu.
“Hallo, Ibu. Apa kabar?” Minkyungnya sopan kan.
Ibu tarik Minkyung kedalam, lalu pintu ditutup pelan. “Ibu baik, baik sekali malah. Kamu pulang sama Abraham kan?”
Disini Minkyung jadi bungkam, dia duduk disofa. Sementara Ibu jalan kedapur, mungkin ambil sesuatu yang segar. Minkyung perhatiin Ibu yang masih sama dari dulu,
Sama-sama berlagak sok baik.
Minkyung berdecih samar, lalu tatap figura foto pernikahan Mingyu sama Wendy yang dibiarin turun. Gak kaya dulu, belasan figura mereka ditumpuk jadi satu.
“Abraham pulang lebih dulu, aku dari jepang baru empat hari yang lalu.”
Ibu ngangguk, taruh minuman Minkyung diatas meja lalu beralih duduk.
“Kenapa kamu gak bawa kesini?”
“Dia gak mau, katanya capek habis dari luar.”
“Tapi dia gak bilang pingin ketemu Sere kan?”
Minkyung sama Ibu saling tatap, beberapa lama sampai akhirnya kepala Minkyung geleng tanda jawab.
“Aku kesini cuma mau ambil dokumen surat warisan dari kak Mingyu buat keluarganya. Ada? Bawa sini Bu, mau aku urus.”
Gelagat duduk Ibu seketika kurang nyaman, dia lebih dulu ambil minumannya sendiri dan diteguk halus dikit-dikit gak niat. Formalitas gestur; biar dilihat tenang.
“Ibu gak nyimpen dokumen itu. Ibu gak tau kakakmu nyimpen itu dimana.”
Kepala Minkyung gerak kesisi, meneliti omongan perempuan tua didepan mata. “Ibu gak usah bohong.”
“Saya gak bohong Minkyung.”
Decakan Minkyung keluar keras, mata dia mengerling jengah. Minkyung tau Ibu tirinya ini luar dalam, masalah harta gak mungkin dilepas secara gampang. Minkyung tau, dan gelagat Ibu total bikin dia emosi.
“Bu, aku tanya ini sekali lagi. Dimana dokumen harta warisannya? Ibu gak mungkin ambil sendiri kan? Itu milik Kak Sere sama Abraham.”
Minkyung tarik nafas dalam, sementara Ibu telak bungkam tanpa perlawanan. Tindakan Minkyung ini bukan semata-mata dia ada dipihak Wendy, tapi memang semuanya buat Abraham.
Dia gak perduli Wendy mau apa, mau matipun silahkan. Minkyung gak perduli.
;
Wendy tutup gorden rumahnya waktu langit meredup, awan bekas sore tadi masih bergurumul. Wendy perhatiin itu agak lama sebelum akhirnya sukses tutup semua akses keluar.
Irene ada diruang kerja. Sama kacamata bacanya seperti biasa, Wendy jalan mendekat sambil senyum kecil. Lalu beralih duduk didepan Irene.
“Besok aku mau ke optik, mataku silau terus. Perih lagi,” Wendy nyeletuk santai sekalian beresin dokumen-dokumen Irene yang berantakan gak tentu arah.
Balesan Irene cuma deheman kecil, wajah dia kena cahaya dari laptop dan Wendy liatin itu dia lagi apa. Serius betul mukanya.
“Kamu ngerjain apasi?”
“Ngerjain kerjaanku lah.” Irene jawab ini gak pake tatap. Bahkan dia gak terpengaruh waktu betisnya digesek kaki Wendy dibawah meja. “Geli! Jangan gitu, aku lagi sibuk.”
Wendy mencibir, “Cupu.”
Mereka gak ngobrol apapun lagi, Wendy masih beresin kertas dokumen punya Irene kedalam map coklat sesuai judul. Irene sendiri sibuk ngetik gak mau diganggu.
Bagian judul terakhir, Wendy lekat tatap lembaran kertas ditangannya tanpa kedip.
Irene hela nafas, kerjaannya beres dan dia sedikit lenturin badan pake cara merentangkan tangan. Dia buka kacamata bacanya dan beralih liatin Wendy yang masih terpaku sambil pegangin kertas.
“Kamu baca apaan sayangku.”
Senyap sebentar. Irene masih nunggu sambil senyum gak jelas. Tapi Wendy angkat wajahnya itu pake raut yang gak biasa.
“Ada dokumen warisan dari Mingyu buatku sama Abraham tapi kamu diem, kamu gak ngasih tau aku? Kamu tau gak ini artinya apa kak?”
Seketika senyuman gak jelas milik Irene luntur, Wendy pegang kertas dokumennya disisi wajah. Seolah kasih tau Irene hal yang seharusnya gak boleh dia tutupi.
________________________________________
Kacaw.