Chocolate Coconut

1.7K 232 16
                                    






Sial, hujan lagi.

Terimakasih dulu sama bukit meteor yang entah gimana rupa cantiknya dibawah langit mendung planet gurita malam-malam, selain titik terang lampu warga. Itu aja—sisanya bingung.

Dua-duanya masuk mobil, bahkan Irene injak pedal gasnya sepelan mungkin, jalan basah jadi harus lebih waspada. Apalagi bawa Bidan yang tiba-tiba demam.

Beberapa kilo meter dari tempat semula; Irene mutusin buat menepi, gila ini hujan hebat sekali. Asli.

Ya takut, jalanan sepi. Irene beralih pindah kebelakang, disitu ada Wendy yang terus gigit kuku jempolnya sendiri.

“Kenapa begitu? Jangan digigit.” Wendy bales kalimat khawatir Irene pake dengusan panas, suhunya cepet berubah. Irene sentuh leher Wendy sekilas. Ah—demam beneran.

“Kak, minum.”

Dan sialnya, Irene sama sekali gak bawa apapun didalam mobil. Dia mengerang bingung, tamplak jidatnya sendiri sampe berbunyi.

“Gak ada minum,” nadanya nyesel, serius nyesel.

“Yasudah, pulang. Aku mau pulang.”

“Tapi hujan gede diluar. Jempol kamu jangan digigit!”

Bentakan tadi gak mempan, Irene tarik tangan Wendy supaya stop gigit-gigit, tapi balik digigit lagi sama yang punya. Semacam kebiasaan dari kecil, mungkin demamnya Wendy begini ya?

“Pengen pulang ke Mingyu.”

Biang, Irene tatapannya lurus. Sakit gini ingetnya masih Mingyu, ternyata Wendynya beneran masih ada rasa. Irene coba kalemin diri sendiri, hitung maju mundur didalam hati sambil tarik nafas gaya santai.

Tapi tetep gak bisa santai.

Karena padahal didalam sini adanya dia, terus racauan ala orang sakit dari Wendy sukses bikin isi kepala rasanya meleduk.

Irene merunduk sedikit, keningnya ditempel ke pelipis Wendy—lemah astaga. Plis.

“Inget aku buat hari ini doang, Sere.”

Wendy buka mata panasnya, merah total. Dan nutup lagi, biarin rasa kening Irene dipelipis. “Pengen pulang.”

“Sere.”

“Kakak.” ini panggilan Wendy yang punya intonasi lemah.

Suhu Wendy makin kacau, Irene mau ikut melemah tapi gak bisa, sekilas dia bisa tangkap gigilan tubuh Wendy.

Ck, idiot. Rok rample coba, sama kemeja putih? Pantes kena demam.

Irene lepas hoodienya sengaja dan digulung ketubuh Wendy, harusnya mungkin daritadi dia gini—terkadang Wendy keliatan kuat, gak keliatan dimana titik lemahnya.

Sekarang tau ternyata nona Serenya lemah sama hajaran angin. Dia sendiri masih lemah sama wajah lucu dari kesayangan.

Wendy masih terpejam, tapi Irene tau; Wendy gak beneran tidur. Cuma memang nafasnya kerasa panas terus.

“Kak,” panggilan lemah, Wendy bilang ini kepala langsung muter. Irene beralih tatap intens muka Wendy yang merah telak, sesekali pipinya disentuh kecil buat mastiin suhu.

“Kenapa?”

“Pinjem tanganmu sebentar,” Irene freak, tapi dikasih pinjem juga ujungnya.

Sekedar genggaman halus, Wendy liatin lama jemari Irene didalam mobil pake mata sayunya, disini cuma ngandenlin cahaya lampu mobil. Irene betah posisi begini, temaram dibawah guyuran air hujan itu rasanya dahsyat.

Lalu sedetik berubah suasana, Wendy sedikit tatap bola mata Irene yang terang, seolah dianya minta izin buat gigit jempol Irene tanpa ucap. Irenenya gak respon, Wendy tau sorot mata Irene yang berani, izinnya diterima. Tanpa syarat.

“Kalau ngerasa jorok bilang.”

“Gak, gigit aja. Siapa tau kamu lebih tenang.”

“Dulu ke Mingyu begini,”

Ck,” decakan halus, Irene ogah mikirin Mingyu. Wendy terkekeh, lemah.

Irene biarin jempolnya digigit, dia meringis geli. Sedangkan Wendy makin kuat genggamannya, gak tahan.

Manusia Bae kalap, Wendy pake lidah sekilas, bahkan ada decakan kedengeran nyaring. Kupingnya peka suara, ya gimana ya? Seolah apapun yang Wendy lakuin sekarang sudah jadi fokus.

Bola mata Wendy terus lemah, dia minta maaf soal tadi didalam hati, sebab sekarang Irene beneran kerasa dia butuhin. Irene asah giginya tanda gemes, dari samping bahu Wendynya dia cuma bisa memperhatikan si Jempol didalam mulut Wendy.

Irene pernah ngalamin kondisi begini; tegang karena pancingan, pening karena gak bisa tahan hormon. Sekarang Irene tarik tangannya dari Wendy, jempolnya basah—Wendy bales pake tatapan sayu, dahsyat dua kali.

“Kenapa? Aku mau tidur, jangan ditarik.” Irene gak ada respon.

Dia beralih kecup dalam bibir panas seorang Wendy, ada lenguhan yang jadi sapa, persetan sama hoodie, Mingyu dan hujan deras planet gurita.

Wendy jemarinya merambat kebelakang kepala nona Bae, sedikit remasan disana, halusnya dia minta lebih. Total rangsangan, minta maaf sama mobil yang jadi saksi bisu kegiatan malam ini.

Belahan bibirnya kebuka setengah, ambil nafas sekilas—Irene puncak hormon sayangnya, gak ada jeda buat pengambilan nafas. Dia lumat kasar, Wendy butuh oksigen.

Dan yah—sekelebat suara lenguhan jadi makin liar, hoodie entah dimana, kemeja putih Wendy juga lepas entah dimana.

Hari ini mereka ulang lagi penggabungan tubuh sama panas, rasanya aneh, karena jam terakhir tadi ada omongan yang bikin hati Irene mencelos.







______________________________________

irene itu  serenya orang sakit lho—nangis.

Marmalade (ReneDy) | Completed ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang