Happy Reading❣
.
.
*****Hari demi hari, hubungan diantara Al dan Nantha semakin membaik, hal itu terlihat jelas dengan sikap keduanya yang kini justru bisa dibilang semakin sering bersama bahkan Al pun tak lagi mempermasalahkan jika Nantha mengikutinya kemanapun ia pergi. Tentu saja itu membuat teman-temannya juga merasa lega karena permasalahan keduanya tak berlarut berkepanjangan.
Minggu depan kelas 12 sudah menjalankan Ujian Akhir Sekolah, dan tentu saja hari-hari saat ini mereka gunakan untuk belajar lebih giat tak terkecuali Al dan teman-temannya. Terlebih lagi Al yang berniat untuk mengambil posisi juara umum Nantha, walaupun sebenarnya ia tak yakin akan berhasil. Kini ia sedang berada di cafe, duduk dengan beberapa buku, kopi dan chesee cake di atas mejanya, sedangkan di sampingnya seorang pemuda tengah membaca rangkuman materi yang sebelumnya sudah ia tulis.
Gadis itu sibuk menyelesaikan soal-soal matematika yang jujur saja membuat kepalanya merasa hendak meledak, ia beberapa kali meletakkan pensil yang ia bawa, menggerak-gerakkannya di udara, dan mengetuk-ketukkan kekepalanya untuk berfikir sejenak. Entah sudah berapa soal yang ia kerjakan, gadis itu menghela napasnya dan menyandarkan tubuhnya ke kepala kursi, helaan yang cukup keras itu membuat Nantha mengalihkan pandangannya menuju Al.
"Kenapa?"
"Hayati lelah," jawab Al dengan nada lesu, "gini amat ya jadi manusia beban keluarga," lanjutnya.
"Baru sadar sekarang, kalo lo beban?"
"Ya enggak sih."
Nantha menutup bukunya lalu beralih menutup buku yang ada di hadapan Al, merapikannya dan di letakkannya di kursi kosong di sampingnya membuat Al kebingungan. "Lah-lah, kenapa di beresin? Gue belum selesai tau," ujar gadis itu.
"Gue tau ini mau ujian, gue juga tau lo mau ngalahin gue, tapi lo gak bisa ngeforsir diri lo buat belajar terus. Yang ada materi yang udah lo pelajarin bukannya masuk ke otak lo, tapi malah ilang gak tau kemana," balas Nantha, "jadi untuk siang ini cukup segini aja, lanjutin nanti malem tapi cukup satu jam! Ini perintah bukan penawaran, gue gak mau pas ujian nanti lo malah sakit gara-gara begadang belajar, paham gak?"
"Iye-iye, bawel amat lo kayak emak-emak. Perasaan emak gue aja kaga segitunya," ujar Al sembari menyeruput sedikit kopinya.
"Ya kan gue sayang lo."
"Uhukk.. uhukk.."
Yap. Al terbatuk-batuk mendengar penuturan Nantha, meskipun ia sudah tahu tentang perasaan pemuda itu tapi mendengarnya mengucapkan sebegitu entengnya membuat gadis itu cukup terkejut. Al meletakkan cangkirnya lalu meraih selembar tisu dan mengusap bibirnya, ia melirik Nantha yang kini justru tengah memandanginya, tatapan yang tak bisa gadis itu jelaskan.
"Lo kapan mau nerima gue?" tanya Nantha to the point, membuat Al membulatkan matanya.
Al berdekhem, "Terima apa?"
"Perasaan gue, lo pasti paham perasaan gue."
Hening, lalu gadis itu menaikkan bahunya sembari sedikit menggelengkan kepala, "Entahlah," jawabnya singkat.
Jujur saja pemuda itu cukup kecewa mendengar jawaban Al yang sama sekali tidak memuaskan, ia tersenyum, senyum yang sangat terlihat ia paksakan.
"Ya udah, balik yuk udah sore juga, nanti bi Isum khawatir nyariin lo," ujar Nantha dan segera membereskan barangnya lalu bangkit berjalan menuju kasir.
Al melihat pemuda itu berjalan menjauh, sembari membereskan barang-barangnya ia pun sebenarnya memikirkan pertanyaan yang sama dengan Nantha. Apa yang harus ia putuskan? Tidak mungkin jika ia dan Nantha akan terus seperti ini, tapi pilihan itu terlalu sulit untuknya, walaupun sebenarnya tak sesulit itu. Ia hanya harus memilih, tetapi mengingat kembali tentang Vero membuatnya sedikit ragu untuk memilih Nantha.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALONA (SELESAI)
Teen FictionKesakitan terhebat bukan karna broken heart, melainkan broken home. Luka terhebat adalah saat keluargamu tak kan pernah kembali utuh. Kesedihan terhebat adalah saat rumah yang seharusnya menjadi tempatmu pulang justru terasa asing. Kepedihan terheba...