Happy reading❣️
.
.
*****Dion dan Al keluar mengendarai motor milik Dion, di tengah dinginnya malam mereka memecah jalanan. Al yang lupa tak membawa jaket hanya bisa memeluk erat kakak semata wayangnya, ia menyandarkan kepalanya di belakang punggung Dion. Sesaat ia memejamkan mata, mencoba merasakan kedamaian yang sudah lama tak ia dapatkan.
Kini mereka sampai di sebuah tempat yang dulu sering sekali mereka datangi, tempat yang menyimpan sejuta kenangan. Mereka turun dari motornya setelah di rasa sudah memarkirkan motornya dengan benar. Sudah lama ia tak datang lagi ke tempat itu, bahkan biarpun kediamannya cukup dekat ia tak ingin terlalu mengenang. Gadis itu masih terdiam, seolah mengingat kembali masa di mana semua begitu indah.
"Yuk," pinta Dion membuyarkan lamunannya.
Dion adalah satu-satunya orang yang bisa di sebut keluarga bagi Al, ia selalu menggandeng tangannya dan tak pernah membiarkannya terjatuh. Setelah kepergiannya untuk melanjutkan studi 3 tahun lalu di jogja, semua terasa mulai berbeda, terlebih setelah kejadian 2 tahun belakangan yang membuat Al seperti benar-benar akan depresi.
Laki-laki itu menggenggam tangan Al erat, di rasanya kembali kehangatan yang sudah lama ia rindukan.
"Lo ngapain sih, kak, ngajakin gue ke sini?"
"Ngapain? Ya kita cari makan lah, gue laper, belum makan dari siang." Al mengerucutkan bibirnya mendengar jawaban dari Dion.
"Di tempat lain kan bisa, gak harus di sini," gerutu Al.
"Gue maunya di sini." Dion menghentikan langkahnya di stan tukang sate. "Mas, satenya 2 porsi ya," ujarnya kepada penjual sate tersebut.
"Siap, mas."
Keduanya memilih untuk duduk lesehan di tempat yang sudah di sediakan. Ada raut sedih tergambar di wajah Al, namun juga ada rasa senang di hatinya.
"Lo ngancurin usaha gue buat lupain Alan, kak."
Dion menoleh ke arah Al, "Lo mau ngelupain Alan? Kenapa?"
"Banyak kenangan gue sama dia, kak. Lo juga tau itu, gue gak mau terus-terusan sedih karna kehilangan dia," jawab Al.
"Lo cuma harus ikhlasin dia, Al. Kalo lo lupain dia, di sana dia pasti sedih, orang yang dia sayang mencoba lupain dia."
"Terus gue harus gimana, kak? Selama pembunuh Alan masih berkeliaran seenaknya, gue belum bisa ikhlasin dia. Terlalu sakit buat gue kak," ujar Al, sekuat tenaga ia menahan tangisnya agar tak pecah.
Dion menggeser tubuhnya lebih dekat ke arah Al, dan menarik kepala Al untuk bersandar di bahunya. Ia mengusap kepala Al dengan lembut.
"Gak usah di tahan, keluarin aja. Gue tau sulit banget lepasin orang yang kita sayang, tapi lo harus mikir ke depan, jangan karna dendam persahabatan gak lagi berarti." Al mulai menangis di pelukan Dion. "Gue yakin, Alan pasti sedih di atas sana liat lo kaya gini. Liat kalian kaya gini," lanjutnya.
Malam itu, Al habiskan bersama Dion, menikmati suasana perkotaan yang begitu banyak menyimpan kenangan. Canda, tawa, tangis semua beradu satu, kini hanya mengenang yang bisa ia lakukan, dan itu membuatnya cukup terluka.
Bersama Dion, Al mengingat semua kenangannya. Memflashback semua yang pernah ia lakukan bersama sahabat-sahabatnya dulu. Menyusuri jalanan yang banyak dengan pedagang di kiri-kanan, menari di sebuah konser mini, berfoto, dan semua hal lainnya. Ia ingat tentang semua itu, hal-hal yang tak pernah ia lakukan lagi sejak 2 tahun lalu.
"Gimana malam ini?" tanya Dion saat memasuki kediaman Al.
"Cukup menyenangkan."
"Cukup menyenangkan bisa liat lo nangis lagi, setelah sekian lama," timpal Dion dengan kekehan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALONA (SELESAI)
Teen FictionKesakitan terhebat bukan karna broken heart, melainkan broken home. Luka terhebat adalah saat keluargamu tak kan pernah kembali utuh. Kesedihan terhebat adalah saat rumah yang seharusnya menjadi tempatmu pulang justru terasa asing. Kepedihan terheba...