Happy Reading❣*****
Apa yang bisa diharapkan dari kesempatan? Maaf? Bahkan ia saja tak pernah sadar telah menyakiti. Kesempatan hanya akan menambah luka, sedangkan luka yang ada didalam diriku pun sudah lebih dari cukup. Kukira dirimu penawarnya, ternyata kau justru racunnya.
***
Gadis itu memilih kembali ke kamarnya setelah film yang mereka tonton selesai. Kena pun kembali setelah meminjamkan ponselnya pada Nantha beberapa jam yang lalu. Al berdiri di pinggir balkon sembari menoleh ke gerbang utama dimana ia masih bisa melihat Nantha berdiri di ambang pintu besi itu.
Hujan sudah reda satu jam yang lalu, dan langitpun mulai berganti dengan malam. Namun, pemuda itu masih belum menunjukkan tanda-tanda menyerah. Al kembali memalingkan wajahnya menatap lurus kedepan menghiraukan pemuda yang juga tengah memandang kamarnya itu, dengan tangannya menumpu pagar balkon sembari menghela napas.
"Setidaknya lo bisa ngakuin kesalahan lo, Nan," gumam gadis itu.
Tok! tok! Cklek!
Pintu terbuka, gadis itu menoleh dan melihat Kena yang melongokkan kepalanya lebih dulu masuk kekamar sahabatnya itu. Al berbalik lalu menyandarkam tubuhnya di pagar balkon dengan tangannya yang menyilang didepan dada.
"Masuk aja." Tanpa perintah dua kali, Kena segera melangkah masuk dan tak lupa menutup kembali pintu kamar itu.
Kena berjalan menghampiri Al, lalu menoleh ke arah pintu gerbang, persis seperti yang Al lakukan sebelumnya. "Dia masih disana?" Kena menoleh kearah Al, seolah meminta gadis itu menanggapi kata-katanya dengan memuaskan.
"Biarin aja."
Kena menghela napas, "Temuin aja sekali."
"Percuma, yang ada kita bakal terus adu mulut," kata gadis itu lalu duduk di kursi rotan yang ada di sampingnya, "dia aja gak sadar nyakitin gue, gimana mau selesai urusannya?"
"Coba aja dulu."
"Gue sebentar lagi mau pergi, dari pada ngurusin dia, mending gue habisin waktu yang masih ada ini buat seneng-seneng bareng kalian, ya kan?!"
"Iya sih. Tapi, gue harap lo mau nemuin dia sebelum lo berangkat ke Itali, sekali aja. Jangan sampai ada hal yang lo sesalin pas udah di sana."
Alih-alih menjawab kata-kata Kena, Al justru dibuat bungkam. Bukan karena berpikir dengan kata-kata sahabatnya itu, tetapi ia merasa kagum dengan sahabatnya yang 'lola' itu bisa mengeluarkan kata-kata bijak.
"Lo tadi makan apa? Lo gak keracunan kan?" tanya Al sembari memutar-mutar tubuh Kena, "lo diapain tadi sama Nantha? Gendam? Lo sehat, Ken?" lanjutnya semakin memeriksa setiap celah Kena.
"Apaan sih, nyet!" Kena menghempas tangan Al yang sebelumnya masih menangkup kedua pipinya.
"Gue kira lo kesurupan, tumben kata-kata lo bijak gitu. Abis baca buku mario gupuh, atau firsa besaran?"
"Dih, gue emang bijak kali."
"Gak tau, gak denger gue mendadak budeg," ujar Al sembari menutup kedua telinganya dengan telapak tangan.
"Sialan," umpat kecil Kena, keduanya tertawa renyah.
Perlahan, tawa itu sirna dari wajah Al berganti dengan senyuman tipis dibibirnya, "Huh, hal yang bakal gue sesalin pas gue di Itali cuma satu, yaitu ngebuang waktu kebersamaan kita."
"Ah, prik lo! Gue jadi terhura nih," ujar Kena.
Al kembali memalingkan pandangannya kepada Nantha yang masih berdiri didepan pagar rumahnya itu. "Mau sampai kapan sih dia disana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ALONA (SELESAI)
Teen FictionKesakitan terhebat bukan karna broken heart, melainkan broken home. Luka terhebat adalah saat keluargamu tak kan pernah kembali utuh. Kesedihan terhebat adalah saat rumah yang seharusnya menjadi tempatmu pulang justru terasa asing. Kepedihan terheba...