Happy reading❣
.
.
.
*****Di belahan dunia lainnya, seorang laki-laki paruh baya masih sibuk dengan berkas-berkas menumpuk dimejanya. Sesekali ia meregangkan otot-otot punggungnya yang dirasanya mulai kaku. Tiba-tiba seorang wanita berparas cantik khas wanita eropa dengan kulit putihnya masuk ke ruangan tersebut sembari membawa segelas coklat panas.
Wanita itu meletakkannya di atas meja dan kini ia berdiri dibelakang laki-laki itu dengan diikuti senyuman dikeduanya."Kau perlu istirahat," kata wanita itu.
"Setelah ini."
"Baiklah, minum ini. Jika sudah selesai segeralah tidur," kata wanita itu lalu mencium kedua pipi laki-laki itu bergantian.
Laki-laki itu, Surya, dan wanita itu adalah istri keduanya. Mereka terlihat sangat bahagia, bahkan sampai laki-laki itu melupakan anak semata wayangnya yang kini masih berada di rumah sakit dan justru diurus oleh teman-temannya.
Sedikit menguak tentang Surya, laki-laki yang selalu dipanggil Alona dengan sebutan 'Papa', yang mungkin gadis itu pun tak lagi ingat bagaimana rasanya pelukan dari laki-laki terhebatnya itu. Surya menikah satu bulan lalu di Prancis tanpa sepengetahuan Al, membuat gadis itu kecewa dan tentu saja marah besar padanya. Bahkan mungkin sampai kini, Al masih menjatuhkan perang dingin pada laki-laki itu.
Surya menikahi seorang wanita janda anak satu yang sudah ia dekati semenjak dirinya dan Rani belum bercerai secara sah. Wanita itu lembut dan penyayang berbanding terbalik dengan sikap Rani, meskipun demikian Al masih belum bisa menyukai wanita itu, menurutnya salah satu penyebab perceraian orang tuanya adalah karena wanita itu.
Kini Surya menetap di Prancis bersama Istrinya, sedangkan anak dari istrinya kini berada di Indonesia bersama salah satu kerabatnya yang ada di sana. Sangat kebetulan jika anak wanita itu pun berumur tak jauh dari Alona.
*****
Malam ini Al masih terus berjaga, matanya belum mau untuk terlelap, padahal jujur saja gadis itu sudah mulai lelah dan juga pusing. Beberapa hari ini dunia terasa sama menurutnya, hanya satu warna, hitam. Ia tak lagi bisa melihat cahaya matahari, melihat jingga senja yang sangat ia sukai, melihat wajah teman-temannya dan Vero, ah, ia merindukan mereka semua. Kenapa semesta terus menerus mempermainkannya? Mungkinkah semesta memiliki dendam dengannya, sehingga ia tak bisa bahagia lebih lama lagi.
Jika saja bukan karna teman-temannya, tentu saja ia sudah memutuskan untuk pergi dari dunia ini, apalagi setelah mengetahui kenyataan jika ia tak lagi bisa melihat. Ia tak lagi bisa melakukan apapun tanpa kedua matanya, semua cita-cita dan keinginannya mungkin tak akan pernah terwujud. Jujur saja, kehilangan harapan tentang cita-cita itu lebih menyakitkan baginya dari sekedar putus cinta.
Tak ada lagi bentuk, tak ada lagi warna. Dirinya kini terasa semakin kosong, masih pantaskah ia hidup? Karna ia yakin, dengan dirinya yang saat ini akan membuat semua orang di sekitarnya kesusahan.
Saat ia sedang sibuk dengan pikiran-pikiran pesimisnya, sebuah suara mengacaukan pemikirannya itu. Detik berikutnya ia merasakan jika telapak tangannya di gengam seseorang yang baru saja memanggilnya.
"Lo kenapa?"
"Enggak apa-apa."
"Gue perhatiin lo dari tadi."
Al terdiam, ia menghela napasnya, "Kira-kira gue masih pantes hidup gak sih, Jo?" tanya gadis itu.
"Ngomong apaan sih lo? Ya jelas pantes lah, lo gak usah mikir aneh-aneh deh."
KAMU SEDANG MEMBACA
ALONA (SELESAI)
Teen FictionKesakitan terhebat bukan karna broken heart, melainkan broken home. Luka terhebat adalah saat keluargamu tak kan pernah kembali utuh. Kesedihan terhebat adalah saat rumah yang seharusnya menjadi tempatmu pulang justru terasa asing. Kepedihan terheba...