Ini adalah hari yang paling di benci oleh semua pasangan abdi negara. Dimana hari yang bisa di tempuh bersama walau dengan jarak beberapa km, kini harus terpisah ratusan ribu meter dan waktu yang lama, tugas.
Sama halnya Arinda, jadwal pengamanan yang di mulai pukul 7 harus dia lewatkan hanya untuk mengantar Saka bertugas.
"Kamu yakin beli cincinnya sendiri?" tanya Saka yang ragu dengan keputusan Arinda yang akan membeli sendiri cincin kawin keduanya.
"Iya, kamu tenang aja, aku pasti pilih yang paling bagus kok." ucap Arinda.
"Bukan masalah itu,"
"Terus?"
"Kalo kamu di godain sama yang jual cincin, gimana?!" tanya Saka sedikit ketus.
"Sorry gak mau. Mungkin kalo yang godain mas-mas yang punya toko cincin sih mau." ucap Arinda kemudian tertawa bersama dengan Saka.
Arinda menghentikan tawanya lebih dahulu, sengaja Arinda menatap lekat-lekat senyum dari Saka untuk terakhir kalinya. Saka yang di tatap pun menjadi salah tingkah.
Arinda segera membuka kamera ponselnya dan memotret wajah Saka yang masih tersenyum.
"Obatnya kangen," ucap Arinda sambil terkekeh setelah memotret Saka sebanyak satu kali. Saka pun mengacak rambut Arinda dengan gemas.
"kamu tuh memang pintar ngerubah suasana," puji Saka membuat Arinda mengulum senyum.
"tapi sayang, orangnya munafik." ucap Saka lagi tanpa menghiraukan raut wajah Arinda yang mulai geram.
"Maksud kamu?!" sungut Arinda.
"Iya kamu munafik, di belakang ku 'iya', di depan ku 'enggak'." balas Saka dengan santai.
"Maksudnya apa sih?" geram Arinda hingga tak sadar menaikkan nada bicaranya.
"Kurang jelas aku ngomong? Kamu itu bermuka dua."
"Bermuka dua gimana? Kamu tuh bentar lagi pergi, jangan bikin emosi gini dong!" bentak Arinda pada Saka, hingga banyak orang menatap ke arah mereka.
"Sekarang dengerin aku," ucap Saka dengan serius, Arinda mendapat tekanan secara mendadak hingga raut wajahnya berubah tegang.
"Kamu semalam nangis dan lupa gak makan malam."
"Enggak!" tegas Arinda.
"Aku gak lagi nanya, itu tadi pernyataan yang kebetulan sebuah kenyataan." tambah Saka membuat Arinda diam tak berkata sedikit pun.
"Ketahuan 'kan kalo munafik? di belakang aku kamu nangis, sekarang di depan ku kok gak nangis?" tanya Saka sambil tersenyum mengejek. Arinda masih diam, bahkan raut wajahnya tak berubah sedikit pun.
"Arinda, yang aku bilang tadi itu pertanyaan bukan pernyataan, kenapa gak di jawab?" ucap Saka sambil tertawa.
Arinda mulai meneteskan satu butir air matanya di depan Saka, bukannya menghapus air mata Arinda yang jatuh, Saka justru menghitung tetesan air mata Arinda hingga air mata itu berubah menjadi aliran air yang jatuh dari mata. Saka menarik tubuh Arinda dan mendekapnya dengan erat.
"Jangan sungkan nangis di depanku, sekuat apapun kamu, harus aku yang jadi pelindungnya nanti. Aku takut kalo kamu gak nangis di depan ku, keluarin semua kesedihan, ketakutan bahkan kekhawatiran mu di depan ku, Nda." bisik Saka pada Arinda yang ada di pelukannya. Arinda hanya mengangguk ringan sambil menangan isakannya.
"Sakitnya rindu biar abang yang rasain." bisik Saka jenaka. Isakan Arinda mulai terdengar dengan pukulan manja dari Arinda di dada Saka membuat Saka terkekeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintara Perwira [END]
RandomKisah cinta dari dua insan yang pernah menjalin hubungan, kini kembali di pertemukan dalam satu acara yang sengaja di bentuk oleh kedua keluarga. Pertemuan keduanya tidak berakhir di situ, mereka justru harus di persatukan dengan profesi yang sama d...