EXTRA PART

3.7K 147 32
                                    

"Bunda, Arinda berangkat." ucap Arinda meraih tangan Sang Bunda dan mengecupnya.

"Arinda gak mau mikir lagi? Bunda itu khawatir, lagian kamu ngapain pake rahasia-rahasia tempat kamu tinggal sih?" ucap Renata yang masih saja bisa mengomel padahal air matanya sudah jatuh berkali-kali.

"Arinda kawal Ibu nomor satu RI, Bunda. Dari Sabang sampai Merauke, Arinda juga gatau tinggalnya dimana, mungkin di Kodam atau di Mess." jelas Arinda.

"Tenang, Bun. Anaknya udah gede kok." ucap Deno.

"Iya, Bunda harusnya melepas kepergian Arinda dengan ikhlas." ucap Alan kemudian.

"Heh, moncong kau!" ucap Arinda memukul bahu kokoh milik Alan.

"Duh, Nda." keluh Renata dengan bingung.

"Bunda kenapa sih?" tanya Arinda lebih bingung.

"Bunda itu masih ada yang ganjal." ucap Renata lagi.

"Udah, Bun. Itu sugesti." ucap Alan.

"Kamu beneran gak mau nikah?" tanya Renata tiba-tiba. Pertanyaan yang muncul tidak membuat Arinda shock, tapi Deno dan Alan yang mengalaminya.

"Taxinya kelamaan, sama abang aja, Nda." potong Alan sambil meraih tas milik Arinda dan meletakkannya kedalam bagasi mobilnya. Arinda yang bingung dengan situasi itu menjadi kelabakan.

"Bunda, Ayah, Arinda berangkat ya," ucap Arinda lagi sembari mencium kedua pipi orang tuanya.

Selama perjalanan Arinda hanya diam, tentu saja memikirkan ucapan Renata beberapa menit yang lalu. Alan yang memegang kemudi pun nampak tak tenang, dia bingung mencari topik pembicaraan yang pas bersama Arinda. Entah kenapa suasana menjadi kaku layaknya seorang lelaki yang baru pertama mengajak kencan seorang wanita.

"Jadi selanjutnya, kamu mau ngapain?" tanya Alan, nada ragu-ragu sangat tertangkap di telinga Arinda.

Arinda tersenyum, semua orang kini sangat berhati-hati dengan perasaannya, padahal Arinda sudah baik-baik saja.

"Arinda, tinggal nunggu keponakan lahir aja, Bang. Pasti lucu, mata kanannya mirip abang, terus mata yang kiri ngikut Kak Manda,"

"Heh, gak lucu, Nda! Amit-amit." ucap Alan sambil bergidik ngeri. Arinda tertawa puas.

Melihat senyuman Arinda yang terus terukir membuat Alan yakin, adiknya itu sudah membaik perasaannya. Walaupun sedikit hatinya masih banyak terisi akan kenangannya terdahulu, tapi setidaknya perempuan sedarah dengan Alan itu tidak lagi kalut dengan takdir Tuhan.

"Apa sih yang buat kamu bahagia?" Alan kini bertanya. Tidak ada nada dan wajah serius, hanya membuat Arinda bingung dengan pertanyaan yang jarang sekali di ungkapkan oleh Alan. Jika saja biasanya hal remeh yang dia ungkapkan, tapi ini tidak, semacam deeptalk.

"Arinda bernapas udah bahagia, Arinda di tinggal juga bahagia, Arinda punya Ayah, Bunda, Abang, Bagas dan semuaaaaaanya sudah cukup membuat Arinda bahagia, tapi satu hal yang membuat Arinda gak bahagia, Bang." ungkap Arinda.

"Apa?"

"Arinda gak akan bahagia kalo Arinda gak pernah mensyukuri itu semua." ucap Arinda kemudian hening.

Alan pun nampak mencerna ucapan Arinda, tak lama kepala Alan mengangguk dengan sendirinya. Ucapan Arinda memang benar adanya.

"Jadi,-"

"Bang udah dong nanyanya, ngantuk." keluh Arinda, Alan seketika mengatupkan bibirnya kembali dan enggan untuk berbicara.

~~~

Arinda sudah tiba di kantor pusat Paspampres dengan wajah yang lebih segar. Bagaimana tidak? Sepanjang perjalanan matanya terpejam meninggalkan Sang sopir dadakan yang harus menyelip beberapa kendaraan karena perintah yang melarang Adiknya agar tidak terlambat.
Perintahnya di dia, bebannya di gue, pikir Alan.

"Udah telat, Arinda masuk duluan ya, Bang." pamit Arinda. Alan mendekat dan memperbaiki rambut Arinda, meletakkan rambut Arinda di belakang telinga dengan perlahan.

"Adik Abang harus banyak bersyukur, biar bahagia terus." ucap Alan.

"Siaap."

"Yang bikin kita bahagia itu tanggungjawab kita sendiri, bukan tanggungjawab orang lain." ucap Alan lagi.

"Kita di lahirkan bukan untuk disakiti 'kan?" ucap Alan lagi yang kini sukses membuat Arinda berderai air mata.

Arinda memeluk Alan dan memeluk lagi lebih erat, seakan menyadari bahwa setelah kehilangan Saka, Arinda tidak akan pernah kesepian, tidak akan pernah merasa sendiri. Faktanya masih banyam sekali orang yang sayang dan perduli kepadanya hingga dia pun tidak akan pernah tau cara apa yang pantas untuk membalasnya.

Arinda berhasil sadar, bahwa kematian satu orang memang membuatnya sakit sampai di detik mana pun, tapi kesakitan itu hanya untuk kenangannya bukan hatinya. Alan benar bahwa manusia dilahirkan bukan untuk disakiti, Arinda harus merubah cara berpikirnya. Bahwa Tuhan tak pernah berniat menyakiti hambanya.

"Bang, nangisnya gak bisa berhentiii." ucap Arinda sumbang, tangisnya benar-benar menjadi.

"Aduhh! Gimana nih?! Arinda udah telat, tapi-tapi-tapi haaaaaaa.."

Alan tertawa terbahak hingga keduanya menjadi pusat perhatian banyak orang, bagi mereka yang tidak mengetahui hubungan darah keduanya mungkin sudah meleleh dilanda kebaperan. Adik dan Abang itu memang terlihat romantis.

Semakin lama, tangis Arinda benar-benar sulit dihentikan, Alan pun kesal hingga menepuk pelan dahi Arinda beberapa kali lantaran malu, banyak orang menyangka Alan adalah tersangka  penyebab tangis Arinda.

"Udah, malu tolol!" bisik Alan.

"Ga-gak bisaaaa!" ucap Arinda sedikit membentak walau kesulitan.

"Masuk aja, sana masuk! Udah mau apel Arindaa!" Mata Alan melotot kesal.

"Eh iya, lu sih, Bang!"

"Kok gue!"

"Terus? Siapa lagi?"

"Ya jangan salahin gue dong!"

"Tau gitu gue berangkat naik taxi aja."

"Gak tau terima kasih lo, udah di anterin juga, bilang makasih aja enggak!"

"Makasih."

"Gak ikhlas lo!"

"Kok nyolot si!"

"Lo yang kurang ajar."

....

Perdebatan terus terjadi, saling tunjuk dan saling tuding hingga perdebatan sengit adu argumen itu berhasil menghentikan tangis Arinda yang berubah emosi.

"Sertu. Arinda!" Suara bariton itu terdengar sangat keras dari kejauhan hingga menghentikan kegiatan Arinda dan Alan.

"Siap!" ucap Arinda tak kalah kencang dan segera menoleh dan memposisikan diri dengan tegap.

"Masuk! Jam berapa ini?!" Teriaknya lagi.

"Siap salah!"

"Jalan jongkok kemari!"

"Siap, jalan jongkok!" teriak Arinda, kemudian memposisikan diri berjongkok di tempat. Alan sedikit demi sedikit melangkah menjauh, menghindari seseorang yang dia kenal.

"Alan!!" teriakan dari suara yang sama mengarah pada Alan. Suara yang sangat Alan kenal, yaitu Komandan Grup A Paspampres berpangkat Kolonel.

"Siap!"

"Bawakan tas adikmu itu!" Perintahnya.

"Siap!"

Begitulah akhir penderitaan keduanya, dengan Arinda yang berjalan jongkok dan Alan yang membawakan tas besar milik Arinda. Tentu saja bukan hanya sekedar itu, masih ada perintah-perintah yang membuat kapok adik dan abang itu yang berani membuat keributan di wilayah Kantor Pusat Paspampres.

-SELESAI-

Bintara Perwira [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang