76. Saka Pulang

3K 141 35
                                    

Arinda memporak-porandakan ruang tamu hingga ruang keluarga. Alan yang tengah duduk santai menonton televisi itu merasa terganggu saat satu per satu bantal yang menjadi sandaran sofa mendarat di wajahnya.

"Nda!" wajahnya kini berubah garang.

"Bang handphone gue ilang," rengek Arinda.

"Di cari yang bener! Masih aja ceroboh sama barang sendiri." ucap Alan dengan pedas hingga membuat telinga Arinda terasa panas.

"Aduh, kuping gue panas Bang, bisa nanti aja gak ngomelnya? Sekarang bantu gue cari handphone!" ucap Arinda memerintah.

"Ogah!"

"Beralih pada berita berikutnya Saudara. 7 Warga negara Fhilipina yang di sandera oleh kelompok MIT berhasil diselamatkan pada pukul 4 waktu setempat.."

"Mereka pulang?" tanya Arinda dengan bahagia.

"Eh, Bang. Kak Saka pulang!" pekik Arinda sambil menarik lengan Alan. Alan hanya menatap layar TV dengan tatapan kosong dan enggan menanggapi Arinda.

"Hp gue mana sih? Ini kan udah sore, pasti Kak Saka telpon gue dari tadi. Bang Alan bantu dong, please." Mata Arinda berbinar kemudian sayu mengharap bantuan Alan.

Alan melepas paksa genggaman tangan Arinda yang berada di lengannya dan berlalu begitu saja.

"Dasar sensitif." cibir Arinda.

Arinda berlari menuju kamar orang tuanya. Diketuk pintu yang tertutup rapat itu beberapa kali sebelum Renata membuka pintu.

"Bundaaa, liat hp Arinda? Dari tadi Arinda cari kok gak ada ya? Kali aja Bunda liat." rengek Arinda.

"Coba tanya Bang Alan," kini Deno bersuara dari dalam.

"Ayah mau kemana?" Mata Arinda menyorot tajam, pasalnya hari senja mendekati malam, Deno justru sibuk memakai seragam PDU-nya lengkap.

"Bunda, Ayah berangkat." ucap Deno menyerahkan tangannya di depan Renata, kemudian mengecup punggung tanyannya.

"Ayah mau ke Halim," Raut wajah yang dingin tanpa ekspresi itu membuat Arinda bertanya-tanya. Deno berlalu dengan cepat dan memerintah Serda Afra untuk segera bergegas.

"Ada apa di Halim? Kok kayanya penting, pake PDU lagi." gumam Arinda.

Renata memasuki kamar begitu saja tanpa berpamitan pada Arinda yang masih menatap kepergian Deno. Arinda membalikkan badannya dan melihat pintu kamar yang tadi terbuka kini tertutup rapat.

"Yah di tinggal, orang-orang kenapa ninggalin gue sih? Kak Saka, Mamanya Kak Saka, Bang Alan, Ayah sekarang Bunda. Kenapa gak ada yang perduli sama gue sih? Kalian tau gak sih gue itu capek." ucapnya dengan kesal kemudian memasang raut wajah semiris-mirisnya.

"Mana handphone ilang lagi, aaaaaaaa handphone kemana sih?!" teriak Arinda.

~~~

Bimo menatap nanar wajah pemimpin yang kini tergeletak di atas tanah airnya sendiri, mirisnya pemimpin yang cekatan itu tewas di tangan orang tak beradab.

Bayang-bayang ucapan Saka beberapa menit sebelum melepas senjatanya masih menghantui pikirannya.

"Kalo saja negosiasi ini gagal dan harus menyerahkan satu nyawa untuk menyelamatkan mereka, maka tinggalkan saya disini." ucap Saka serius, tangannya kini mencengkram kuat bahu Bimo dan menatap Bimo dengan sorot dalam.

"Kita tidak akan menyerahkan satu nyawa siapa pun. Dan saya tidak akan menyerahkan nyawa rekan-rekan saya, jika benar-benar harus mengorbankan satu nyawa, maka satu nyawa saya serahkan, tapi bukan nyawa rekan saya." ucap Bimo berbanding terbalik dengan keinginan Saka.

Bintara Perwira [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang