74. 'Pasangan'

1.3K 108 6
                                    

Arinda terus saja menggerutu kesal, setelah kejadian-kejadian tidak mengenakkan terjadi satu persatu sepanjang jalan menuju Kodim untuk mengantar surat yang tak di ketahui isinya.

Kurang dari satu jam sebelumnya Arinda sudah di timpa nasib buruk, mulai dari surat milik Deno yang basah tertimpa air yang dia bawa, hampir menabrak seorang anak jalanan karena melanggar lampu lalu lintas dan harus merasakan kerasnya setir mobil yang menyentuh wajahnya hingga tulang pipinya terasa sakit, dan benar saja, pipinya membiru akibat seorang remaja yang mengendarai motornya dengan ugal-ugalan.

Dan sekarang, dia harus menunggu selama satu setengah jam untuk menemui Komandan Kodim, pihak Provost enggan menerima surat dari Arinda karena surat yang di berikan dianggap sangat penting dan harus ditujukan langsung pada Dandim.

"Permisi, Bang. Saya buru-buru, apa tidak bisa dititipkan saja?" ucap Arinda untuk kesekian kalinya di Provost.

"Tadi ajudan Bapak udah telpon, katanya disuruh tunggu, soalnya ada yang mau Bapak titipkan juga buat Bapak Deno." ucap salah satu Provost yang menjaga, Arinda kembali duduk di dalam mobil dengan malas. Arinda sungguh tidak enak lantaran sudah berjanji pada Indah untuk datang kerumah calon mertuanya itu sebelum pukul 10 pagi.

Arinda menderatkan dahinya di ujung setir menahan rasa kesal dan tak enak pada calon mertuanya.

Setelah menunggu hampir satu setengah jam, barulah mobil dinas berwarna hijau army memasuki kodim. Arinda sudah menatap mobil itu dengan sengit.

"Ya Allah, beri hamba kesabaran, walau pun panas panasan di parkiran dan harus kehabisan bensin gara hara hidupin AC buat nunggu Bapak. Semoga pulang dari sini di kasih uang jajan buat beli bensin ya, Pak." ucapnya seolah-olah Bapak Dandim yang baru saja turun dari mobil dinas itu bisa mendengarnya.

Segera Arinda turun dan menyusul Dandim itu sebelum jam sibuk kembali mendatanginya.

"Izin, Ndan." Panggil Arinda dari belakang.

"Hei, Arinda, ayo masuk dulu ke ruangan saya." ajak Dandim tersebut dan hanya di angguki Arinda.

Setelah Arinda memasuki ruangan milik Komandan Kodim itu yang terlihat sangat nyaman. AC dingin, tempat bersih tanpa debu membuat siapa saja merasa nyaman didalamnya. Berbeda lagi jika yang berada di sana adalah panggilan perintah atau peringatan langsung dari komandan, dapat di pastikan keringat saja sungkan untuk keluar.

"Arinda, saya ambilkan minum dulu, tunggu di sini sebentar," ucap Dandim dan hanya di tanggapi senyuman oleh Arinda.

~~~

"Hei-,

Dep

Suara peluru yang keluar melalui peredam terdengar.

"Akkhhh-," pekik Saka setelahnya. Kini Saka terduduk di atas tanah menahan peluru yang masuk hampir kedalam tulang keringnya.

Semua anggota terkesiap dan dua diantaranya mengejar target yang di duga prajurit yang seragam dengan mereka.

"Siapa si bodoh itu?" tanya Saka sembari menahan rasa sakit.

"Kau yang bodoh, diam dan jangan banyak berbicara." ketus Sertu. Bimo yang lebih tua dari Saka itu berbicara tanpa memandang pangkat.

"Ble, tahan darahnya!" perintah Bimo pada Able.

Serda Able yang panik tak tau harus apa, tangannya bergetar dan keringat membasahi wajahnya.

"Able, tahan darahnya!" ucap Bimo dengan keras karena Able tak berkutik sedikitpun.

Able segera melepas kedua sepatunya dan menari kedua kaos kakinya. Sekuat tenaga dia menarik kaos kakinya agar menjadi dua bagian kemudian melilitnya di bagian kaki Saka yang tertembak.

Bintara Perwira [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang