Aku masih menyimpan boneka Teddy Bear yang menjadi hadiah ulang tahun pertama sepanjang ingatanku. Hadiah dari seorang anak majikan Ibuku, saat aku berusia 6 tahun. Dan di usiaku yang ke-24 ini, boneka itu masih dalam keadaan baik.
Aku lupa siapa namanya, anak majikan Ibuku itu. Aku hanya ingat ia tinggi dan menggunakan kacamata. Aku dan Ibu keluar dari rumahnya beberapa bulan kemudian, dan aku tidak pernah bertemu dengannya lagi hingga saat ini. Bukannya aku merindukannya, aku hanya tersentuh melihat perjuangan boneka itu untuk tetap berada di sisiku.
Kami pindah ke Jakarta, kota yang kata Ibu adalah kota kelahiranku. Aku menetap dan bersekolah di kota ini. Sejak Teddy bersama denganku, hidupku seperti berjalan di tengah badai. Entah berapa puluh kali aku berpindah kontrakan. Di kecamatan itu, rasanya aku sudah tau semua letak kontrakan hingga ke pelosoknya. Bukan hal yang bisa disombongkan, karena kami akan selalu menundukkan kepala setiap pindahan. Mendengarkan omelan pemilik kontrakan, ucapan iba dari tetangga, dan perasaan was-was apakah kami bisa melalui hidup di kontrakan berikutnya.
Teddy menjadi saksi bisu bagaimana perjuangan Ibuku sangat tidak masuk nalar. Tahun pertama kami di Jakarta, Ibuku sudah berpindah-pindah pekerjaan mulai dari buruh cuci gosok hingga pedagang koran keliling. Lalu tahun berikutnya hingga aku Sekolah Menengah Pertama, Ibu menjadi kondektur metromini. Tidak banyak kondektur wanita di masa itu.
Aku masih ingat kata-kata Ibu, "Mama mau tunjukkan sama Bapakmu kalau Mama bisa membesarkan kamu. Kamu harus jadi orang, nak.". Itu kata Ibuku dulu.
Kalau dipikirkan kalimat Ibu, seakan menjadi orang adalah hal yang sangat rumit. Bukankah asalkan manusia itu hidup maka bisa disebut orang?
Aku ingat, saat itu 2007. Banjir yang cukup menenggelamkan sebagian besar Jakarta menjadi kenangan tersendiri bagiku. Teddy menyaksikan aku dan Ibuku terusir dari kontrakan dengan kondisi air banjir sepinggang Ibu. Ibu menggendongku dan mengungsi di tempatku bersekolah dasar. Aku menganggapnya keberuntungan karena kami bisa tinggal sementara di pengungsian.
"Teddy, tidakkah kau bosan tinggal bersamaku?" Tanyaku seperti orang bodoh.
Teddy hanya tersenyum dan menatapku dengan mata bulatnya yang hitam legam.
Aku tidak selalu berbincang dengan Teddy saat di rumah. Terlebih saat sudah ada boneka Marie dari pacarku semasa SMP. Tapi entah karena Teddy adalah hadiah ulang tahun pertamaku atau karena ia setia mendampingiku bertahun-tahun, Teddy memiliki tempat yang istimewa di hatiku.
Di paragraf ini, aku kehabisan kalimat. Bukan kehabisan cerita, tapi aku tidak tahu mana cerita yang harus kuceritakan lebih dulu. Ah, aku tahu. Mari kuceritakan tentang Teddy yang menyeramkan.
Malam itu, aku tidur sendirian seperti biasa. Aku bermimpi bangun dari tidur dan Teddy duduk mematung di hadapanku. Matanya yang hitam terasa menusuk. Entah kenapa aku merinding dan memutuskan untuk merubah posisi Teddy jadi membelakangiku. Aku keluar rumah dan mimpiku menjadi adegan berdarah di mana pembunuh mengejar-ngejarku. Tetanggaku yang sudah sepuh, tidak bernyawa. Aku terbangun dari mimpiku, waktu menunjukkan pukul 04:00 dini hari dan Teddy benar-benar ada di hadapanku. Aku memutuskan untuk tidak tidur lagi ataupun ke kamar mandi hingga matahari terbit.
Seram sekali, bukan? Coba tebak bagian mana yang paling seram dari ceritaku di atas? Ya. Kalimat pertama paragraf itu. Aku yang hampir selalu tidur sendirian. Ibuku selalu sibuk bekerja dan kami hampir tidak pernah bertemu. Tahun-tahun pertama menjadi kondektur, ia berangkat kerja di waktu subuh dan pulang larut malam. Saat ia berangkat, aku masih tertidur. Saat ia pulang, aku sudah tertidur. Lalu tahun-tahun berikutnya ia hanya pulang seminggu atau dua minggu sekali. Aku yang kata orang masih dalam masa pertumbuhan, tumbuh dengan mencari perhatian ke sana ke mari.
Teddy adalah hadiah pertamaku. Jika ia bisa berbicara, ku rasa ia akan menjadi teman yang baik. Apa karena dia tidak bisa bicara makanya dia menjadi teman yang baik? Mungkin saja. Jika Teddy bisa bicara dia akan mengomeli semua kenakalanku di masa remaja.
Masa itu, aku bukan remaja seperti yang ada dalam sinetron FTV. Yang menjadi anak baik di tengah semua derita hidup. Kau akan mencemoohku jika aku menceritakan semua kenakalan itu.
Apa? Kau masih ingin tahu? Baiklah, akan kuceritakan lain kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan Puisi
General FictionHidup sangat terkait pada takdir. Seringkali orang-orang meminta kita untuk mengikuti aliran takdir yang ada. Berawal dari buangan di selokan Aku mengikuti kelokan sungai dan benturan bebatuan Aku yakin Laut lepas dan bebas itu Di sanalah aku berakh...