Kehilangan Mama

27 3 0
                                    

Semenjak Pak Endut berganti metromini, masih dengan Metromini 41 tapi kali ini dengan nomor plat B 7162 NP, Mama semakin jarang pulang karena pekerjaannya sebagai kondektur metromini itu. Dibanding harus mengongkos untuk perjalanan pulang di malam hari, Mama memilih untuk tidur di garasi. Yakni Pool Brekarona yang terletak di Cipinang Muara, Jakarta Timur. Sering kali, Mama baru pulang setelah bekerja seminggu atau bahkan dua minggu.

Aku yang sudah terbiasa jarang bersama Mama, terpaksa semakin membiasakan diri untuk mengerjakan semuanya sendiri. Termasuk tidur sendirian di kontrakan tanpa Mama. Sebenarnya, tidak berat sama sekali. Hal yang membuat berat adalah saat ada keperluan sekolah yang mendadak juga hubungan kami yang semakin renggang.

Selama ini sudah sebatang kara hanya berdua dengan Mama, lalu sering sendirian, membuatku mulai mengelompokkan orang-orang. Mengelompokkan mereka sebagai keluarga atau bukan. Oh, tidak hanya orang-orang, melainkan juga makhluk-makhluk.

Bapak kandungku, bagiku bukanlah bagian dari keluarga yang sebenarnya. Keluarga haruslah bersikap saling memberi dan menerima. Mama, walau jarang bersamaku beberapa tahun ini, jelas dia adalah keseluruhan dari duniaku. Lek Kamti, tetangga yang selalu menawarkan makanan, menanyakan kabarku, khawatir saat aku sakit, kuanggap seperti keluargaku sendiri. Tika, sahabat yang selalu mendampingiku, adalah keluargaku. Lalu, Catty, kucing yang kuurus sejak awal masuk kelas 4 SD hingga sekarang aku kelas 6 SD, dia adalah keluargaku. Keluarga yang menemaniku saat tidur, bermain, juga menangis. Catty adalah keluarga yang tinggal serumah denganku.

Kali ini, aku tinggal di kontrakan milik Nenek Im. Aku menempati kamar paling belakang dari rumahnya. Kamar yang bersebelahan dengan dapur dan pintu belakang. Dari jendela kamar besar yang terhubung ke dapur, aku sering melihat wanita bergaun putih dan berambut panjang. Kadang, ia juga terlihat di luar jendela kecil yang terhubung ke gangan kecil belakang rumah. Aku juga pernah sekali melihatnya di kamar mandi. Kehadirannya sering membuatku sulit tidur, jelas dia bukan keluargaku. Aku tidak suka ditemani olehnya.

Mama berhubungan dengan Pak Endut. Aku tahu. Proses pendekatan mereka berjalan alami sejak aku kelas 2SD, saat pertama kali Pak Endut memberikan pekerjaan itu. Mereka saling menyukai secara perlahan. Namun, Mama perlu memperbaiki hubungannya denganku dulu dibanding memilih bermesraan dengan Pak Endut, bukan? Aku cemburu. Pak Endut baik, tapi kecemburuan membuatku sulit menerimanya. Penolakan ini tidak kutunjukkan terang-terangan. Aku juga tidak mau membuat Mama marah padaku. Hanya saja, itulah yang kurasakan.

Aku sudah bilang bahwa perangaiku semakin kasar, bukan? Aku tidak membaik. Aku justru semakin kasar dari hari ke hari. Tentu, tidak ke semua orang. Aku juga bersikap penyayang terhadap anak-anak kecil di sekitar lingkunganku. Bagaimana bisa aku kasar pada malaikat-malaikat itu? Mereka menyukaiku dan aku menyukai mereka. Aku membiarkan mereka mengacak-acak kontrakan kecilku dan menemani mereka hingga mereka dipanggil pulang oleh orang tuanya masing-masing.

Pada Mama dan Pak Endut -Mama memaksaku memanggilnya Bapak, tapi aku belum mau-, pelan-pelan kekecewaanku menumpuk. Setelah kelulusan SD, aku diterima di SMP Negeri 121.  aku harus menyiapkan berbagai peralatan saat Masa Orientasi Siswa SMP. Sekedar papan nama dari kardus atau gambar-gambar, mudah saja. Aku mahir membuat prakarya. Namun, ada bahan-bahan yang perlu kubeli. Saat itu, aku tidak tahu bagaimana cara membelinya. Kalau pun tahu, uang yang kumiliki tidak cukup. Aku saja sering kesulitan mengatur uang yang Mama berikan hingga aku sering tidak makan dan menahan lapar di malam hari.

Masa Orientasi Siswa itu membuatku sedih. Kakak OSIS memintaku membuat kalung yang terbuat dari gabungan petai dan jengkol, serta diberi bandul berupa empeng bayi. Aku tidak pernah membeli petai dan jengkol. Warung mana yang menjualnya? Berapa harga empeng bayi? Aku bingung.

Saat aku sedang duduk di depan warung Lek Kamti, Lek Kamti yang tahu bahwa aku sedang menjalani MOS menanyakan kelancarannya. Aku berkata jujur bahwa ada satu yang belum kusiapkan. Kalung itu.

Lek Kamti, tetanggaku yang baik hati tapi bermulut kasar itu, langsung mengoceh, "Haduh, emak lu gimana, sih? Anaknya enggak diurusin mulu. Udah, lu perlu apa aja? Biar Lek bantuin."

Aku menjelaskan pada Lek Kamti bahwa aku membutuhkan petai, jengkol, dan bandul dari empeng bayi. Kondisi kaki Lek Kamti yang sering bengkak, membuatnya sulit berjalan-jalan. Mpok Ibun yang kebetulan lewat, dipanggil oleh Lek Kamti dan disuruh membeli perlengkapan yang kubutuhkan.

"Ibun, lu cariin gih buat si Tiyas. Buat bahan MOS-nya. Tahu sendiri sekarang mah sekolahan suka aneh-aneh. Segala empeng dibikin kalung," oceh Lek Kamti sambil memberi sejumlah uang pada Mpok Ibun.

"Ibun punya empeng bekasan, mau?" tawar Mpok Ibun.

"Lu beliin yang baru. Takutnya beneran dipake empengnya."

Setelah mendapat bahan-bahan itu, Lek Kamti membantuku merangkainya menjadi sebuah kalung. Sungguh, aku sangat berterima kasih. Terutama, setelah pada Kakak OSIS itu meminta para peserta MOS untuk menggunakan empeng itu selama mereka mengajak kami tur keliling sekolah. Untung saja, Lek Kamti belikan empeng baru.

Kejadian berikutnya, ada rapat yang harus dihadiri oleh orang tua siswa. Namun, aku kesulitan menghubungi Mama. Saat itu, Mama sudah sangat lama tidak pulang. Aku kesal. Aku marah. Aku merasa ditelantarkan. Siang hari, aku menyusul Mama ke tempat Mama biasa beristirahat. Biasanya, metromini Mama akan terparkir di Jalan Terusan Kelapa Hybrida. Tepat di pinggir lahan kosong yang dijadikan ladang kangkung. Ketika aku sampai, benar saja Mama ada di sana. Lengkap dengan Pak Endut, supir sekaligus kekasih Mama itu.

Melihat mereka yang sedang bersantai, entah kenapa emosiku memuncak. Aku datang dan mengamuk. Aku mengeluarkan kemarahan yang kusimpan sejak lama. Aku mengamuk tentang bagaimana aku merasa ditelantarkan, tentang Mama yang tidak peduli lagi denganku.

Hingga entah kenapa, ocehanku mulai merembet ke Pak Endut. "Mama lebih milih Pak Endut dibanding Tiyas! Mama udah enggak peduli lagi sama Tiyas!" Aku pun menunjuk-nunjuk Pak Endut dan mulai berkata kasar, "Jangan rebut Mama gua, dasar anjing! Babi!"

Sungguh, itu pertama kalinya aku berkata sekasar itu pada orang yang lebih tua. Aku melihat wajah Pak Endut memerah, dan Mama tercengang. Aku mulai takut Mama akan mengamuk, jadi aku segera berlari ke pinggir jalan, menaiki angkot, dan pulang. Sepanjang jalan sampai di rumah, aku berdebar-debar. Aku memikirkan kemungkinan terburuk bagaimana Mama akan pulang dan memukulku. Aku menangis di rumah, dan menyesali kemarahanku yang tidak terkontrol.

Mama pulang malam harinya, tidak marah sekali. Mama menanyakan tentang rapat sekolahku dan memintaku untuk meminta maaf pada Pak Endut. Demi Mama, karena takut dibenci Mama, aku pun bersedia meminta maaf.

Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan PuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang