Day 7 - Sebatang Kara

20 3 0
                                    

Sulit untuk mendapatkan apa yang ku mau dengan kondisi keuangan Ibu yang cenderung kekurangan. Temperamen Ibu yang pemarah, rasa kasihan, juga putus asa membuatku jadi anak kecil yang pengertian. Aku memahami bahwa apa yang kuinginkan tidak selalu bisa kudapatkan. Sudah menjadi kebiasaan untuk sabar atau merelakan.

Aku tinggal di sebuah gang bernama Candra 1 yang berisi pemukiman padat. Penduduknya didominasi oleh orang Betawi yang memiliki beberapa kontrakan dan hubungan darah berdekatan jaraknya. Ya, jika kau memasuki gang ini maka pemilik rumah pertama yang kau lewati adalah saudara dari pemilik rumah setelahnya. Pemilik rumah di kanan adalah bibi dari pemilik rumah di kiri. Setelah menikah, orang Betawi tetap berada di rumah yang sama dengan orang tuanya atau tinggal terpisah tapi jaraknya cukup dekat. Ini membuat anak-anak yang tumbuh di gang sebagian besar memiliki hubungan kekerabatan.

Kau pasti tidak paham kenapa aku membahas Betawi dan kekeluargaan mereka. Berdekatan membuat solidaritas mereka tinggi dan saling membantu menjadi hal yang sangat mudah dilakukan karena hubungan keluarga mengurangi rasa sungkan dibanding orang yang bukan keluarga. Mulai dari persiapan hajatan, pemakaman, menitip belanjaan di pasar, hingga kemudahan seorang anak kecil untuk meminta uang jajan.

Usia sekolah dasar yang cukup tomboi dan aktif, aku berteman baik dengan anak-anak di gang. Petak umpet, gasingan, bintang tujuh, demprak, ular naga panjang dan lompat tali dengan tali yang dibuat dari karet gelang adalah mainan yang cukup digemari. Kami bisa tertawa bersama atau bertengkar karena kesalahan dalam permainan yang membuat kalah. Namun ada permainan yang aku hanya bisa jadi penontonnya. Seperti saat tamiya menjadi mainan yang sangat terkenal dan digemari anak-anak di gang. Mereka yang belum punya bisa minta dibelikan oleh orang tuanya. Jika uang dari orang tuanya tidak cukup mereka meminta tambahan dari paman dan bibi mereka.

"Cing, saya mau beli mainan tapi uangnya kurang. Tambahin dong, Cing." Begitulah kira-kira saat anak kecil merajuk pada paman atau bibi mereka.

Biasanya, sang paman atau bibi dengan pengertian bertanya, "Kurang berape? Emang berape harga maenan lu, Tong?"

"Harganya lima belas rebu, Cing. Saya kurang goceng."

"Nih, Encing tambahin. Lu beli sonoh maenan lu."

Semudah itu mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Aku tidak seberani itu meminta uang pada Ibu dan aku tidak punya keluarga lain selain Ibu di sini. Jika aku meminta pada Ibu pun, belum tentu aku langsung mendapatkan apa yang kuinginkan.

Gang Candra 1 berada di samping sebuah pasar. Pasar Kaget namanya. Pasar itu sangat ramai hingga berjalan dengan becak bisa membuat kemacetan cukup panjang. Karena lokasi yang bersebelahan, aku dan Ibu tidak kesulitan untuk membeli sesuatu. Tapi akan menjadi sulit jika tidak membawa uang lebih dan anak-anak sepertiku akan selalu melihat barang-barang bagus.

Contohnya saat aku menemani Ibu belanja di pasar, lalu aku menunjuk topi bergambar pahlawan kebenaran dari suatu film animasi. "Ma, Tiyas mau topi itu. Ada gambar power ranger kuning."

Biasanya Mama akan menjawab, "Nanti ya kalau Mama punya uang."

Atau saat aku melihat mainan gasing Beyblade yang sangat keren. "Ma, Tiyas mau gasing itu. Teman-teman sering memainkannya."

"Jangan beli mainan." Seperti itulah Mama menjawab.

Aku pernah menangis karena tidak mendapatkan mainan yang kuinginkan dan berujung pada pahaku yang biru karena dicubit Ibu. Mainannya? Masih terpajang cantik di depan toko.

Tidak butuh lama untukku belajar. Aku bisa menilai barang apa yang mampu Ibuku beli. Juga barang mana yang membuat ibuku marah jika aku memintanya. Menghindari kemarahan Ibu, aku sudah terbiasa tidak meminta sesuatu lebih dari sekali.

Ibuku baik, Ia tau mana yang lebih kubutuhkan. Ia tidak membelikanku gasing Beyblade, tapi ke toko buku dan membelikan buku kotak-kotak untuk pelajaran matematika di sekolah. Yah, tidak bisa langsung juga. Aku ingat butuh waktu dua minggu untukku mendapat sepasang tali sepatu yang baru.

Walau sulit untukku, jika kupikirkan sekarang aku bersyukur tidak pernah memaksa Ibu atas sesuatu yang kuinginkan.

Aku dan Ibu sebenarnya sama-sama sebatang kara. Jika aku merasa hanya punya Ibu, begitu pun Ibu hanya memiliki aku. Saat aku ingin sesuatu, aku tidak berani membebani Ibu. Begitu pun saat Ibu butuh sesuatu, tidak ada yang bisa membantunya karena aku masih kecil. Dalam beberapa hal kami bisa saling menggantungkan diri namun ada juga hal yang membuat kami harus saling pengertian.

Seperti saat Ibu sakit, tidak ada keluarga yang cukup dekat untuk membantu Ibu. Hanya ada aku. Ibu bisa menyuruhku membeli obat di warung tapi tidak akan ada kerabat yang datang dan membantu Ibu berangkat ke Puskesmas. Akulah yang menuntun Ibu berjalan dan memanggil becak. Beberapa tetangga sangat baik tapi Ibu sungkan untuk merepotkan karena mereka bukanlah keluarga.

Yah, kami sebatang kara tapi syukurlah kami masih memiliki satu sama lain.

Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan PuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang