Day 3 - Bukan Pengemis

49 4 0
                                    

Ibuku sudah mencoba banyak pekerjaan selama membesarkan aku. Salah satu pekerjaan yang pernah Ibuku lakukan adalah menjadi pemulung. Sejujurnya lebih tepat disebut pekerjaan kami, karena aku juga ikut membantu Ibu memulung bekas minuman kemasan sambil membawa karung besar. Seringkali saat beristirahat kami duduk bersama pengemis.

Ibu berbincang biasa saja dengan pengemis itu namun setelah berdua saja denganku Ibu akan berkata, "Kita lebih baik darinya. Sesusah apapun hidup, jangan sampai kita mengemis atau meminta-minta. Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah."

Kalimat Ibu benar, tapi yang terjadi dalam kehidupan seringkali menjadi paradoks. Ibu bilang jangan mengemis, tapi pada kenyataannya Ibu hampir selalu mengemis. Mari ingat kembali.

Saat tenggat waktu bayar kontrakan dan Ibu belum punya uang, Ibu akan mengemis pada pemilik kontrakan. Meminta perpanjangan waktu.

Sambil menangis Ibu akan mengemis, "Tolong kasih saya waktu lagi. Saya akan cari uangnya."

Saat sudah diusir pun Ibu masih mengemis meminta pemilik kontrakan membatalkan niatnya.

Sambil menangis Ibu akan mengemis, "Tolong jangan usir kami, kami tidak punya tempat lain. Kasih saya kesempatan."

Kemudian, Ibu juga selalu mengemis pada guruku, setiap guruku mengancam akan mengeluarkanku dari sekolah. Bukan, bukan karena tidak bisa bayar SPP. Aku bersekolah di Sekolah Dasar Negeri dan Sekolah Menengah Pertama yang juga negeri. Jadi tidak ada biaya per bulan maupun per semester. Aku beberapa kali terancam dikeluarkan karena kenakalanku. Ah, akan kuceritakan lain kali mengenai itu.

Ibu akan menangis dan mengemis, "Jangan keluarkan anak saya, saya kurang memperhatikannya karena sibuk bekerja. Nanti saya akan omeli anak saya. Tolong jangan keluarkan anak saya, biarkan anak saya tetap sekolah."

Kalau dipikir-pikir, Ibu terlalu sering mengemis sambil menangis. Intinya, Ibuku mengemis. Kenapa Ibu mengemis padahal melarang mengemis?

Ibu juga selalu rajin setiap ada bantuan sosial dari pemerintah. Atau pembagian zakat dari masjid setempat. Bila Ibu belum mendapat kupon, Ibu akan mengunjungi rumah RT.

"Pak RT, kok saya belum dapat kupon, ya?" Seperti itu.

Jika Pak RT menjawab, "Waduh, saya lupa. Maaf ya, kuponnya sudah habis."

Maka Ibu akan mengemis lagi, "Tolonglah pak, saya dan anak saya butuh. Kasihani saya yang janda."

Ibu benar-benar mengemis setiap ada kesempatan.

Hal yang dulu juga tidak bisa kupahami adalah Ibu yang selalu memaksaku ikut santunan anak yatim. Sejak aku tau bahwa aku bukan anak yatim, aku tidak mau pergi bersama anak-anak itu. Mereka yang selalu membawa pulang makanan dalam besek dan amplop berisi uang di bulan Ramadhan dan Muharram.

"Aku bukan anak yatim, Ma." Alasanku dulu setiap Ibu memaksaku berangkat.

Ibuku akan marah dan bertanya, "Kalau kamu bukan yatim lalu mana Bapakmu?"

"Katanya Bapak masih hidup di Medan?"

Ibuku yang frustasi biasanya akan membanting piring dan berteriak-teriak. "Kalau dia Bapakmu kenapa nggak ngurus kamu? Karena kamu nggak diurus bapak anggap saja bapakmu sudah mati!"

Lalu biasanya aku akan berangkat sambil menangis.

Apakah hal-hal tersebut bukan mengemis? Aku tidak berani mempertanyakan hal itu pada Ibu. Karena aku akui, sikap Ibuku yang rajin mengemis itu telah membantu kehidupanku. Jika Ibu tidak mengemis, mungkin Ibu tidak punya beras. Jika Ibu tidak mengemis, mungkin angka kami terusir dari kontrakan lebih banyak. Jika Ibu tidak mengemis, mungkin aku tidak akan bisa bersekolah. Jika aku tidak pura-pura menjadi anak yatim, aku tidak akan punya baju baru di Hari Raya.

Dibanding mempersalahkan sikap Ibu yang mengemis, aku ingin mengucapkan.

"Terima kasih karena sudah mau jadi pengemis, Ma."

Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan PuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang