Aku tidak tahu kapan pertama kali aku menyadari bahwa sebenarnya ayahku masih hidup. Informasi ini kuterima begitu saja seiring berjalannya waktu. Mungkin sejak aku menyadari adanya bisik-bisik kerumunan tetangga setiap aku bermain di luar. Mungkin juga sejak ada anak-anak kecil yang berteriak, "Anak haram!" setiap aku mengucilkan diri.
Dulu, aku benar-benar percaya saat Ibu menyebutku anak yatim. Saat itu, aku masih antusias hadir di acara santunan anak yatim yang selalu ada setiap bulan Ramadhan dan Muharram. Aku khusyuk berdoa, mendoakan orang dermawan yang memberiku amplop berisi uang dan kadang tas sekolah lengkap dengan alat tulis.
Sejak aku menyadari aku bukan anak yatim, aku tidak bisa lagi menjadi anak baik. Aku selalu bertengkar dulu dengan Ibu setiap Ibu memintaku berangkat bersama anak-anak yatim lain. Aku juga merasa bersalah karena membohongi orang-orang dermawan itu.
"Bapak kamu nggak ngurusin kamu, jadi kamu itu anak yatim." Itu alasan yang selalu Ibu berikan padaku. Aku bukan anak yatim, karena Ayahku masih hidup. Apakah tidak apa-apa seperti ini? Kadang aku berpikir, lebih baik kalau Ayahku benar-benar meninggal hingga aku tetap bisa mendapat amplop tanpa merasa bersalah.
Di pagi hari itu, aku dibangunkan oleh seorang pria asing yang mengenakan sorban. Pria itu menciumi wajahku dan berkata bahwa ia adalah ayah kandungku. Kelas 1 SMP, itulah kali pertama aku bertemu dengan Ayah.
Tidak ada suasana penuh keharuan dengan tangis bahagiaku, juga tidak ada kericuhan dari Ibu yang biasanya marah saat membahas Ayah. Oh, ini Bapak. Hanya itu yang ada di pikiranku. Ibu juga mengizinkan Ayah mengajakku untuk pergi seharian.
Ayahku adalah seseorang ustad, itulah kesan yang kudapat. Aku dibawa Ayah ke salah satu rumah yang katanya adalah rumah dari kakak beda ibu. Di rumah itu langsung ada sepasang suami-istri yang minta air doa dari Ayah, katanya agar segera diberi momongan. Suasananya asing sekali. Aku sedikit-sedikit bisa membedakan mana kakak-kakakku dan mana iparku. Namun, aku tidak bisa menghafal nama mereka. Jumlahnya terlalu banyak.
Berikutnya, Ayah bersama rombongan anak-anaknya termasuk aku, pergi ke sebuah rumah yang sedang berduka. Rupanya inilah alasan utama Ayah ke Jakarta. Adik kandungnya meninggal. Sebenarnya lokasinya tidak jauh dari rumahku, tapi aku tidak tahu kalau memiliki paman yang cukup dekat lokasinya.
Di sini, aku mencoba berbaur dengan kakak-kakakku yang beda ibu. Ada satu kakak perempuan yang cukup menarik perhatianku. Dia bercerita bahwa ia dan aku memiliki satu kesamaan yakni tidak diurus oleh Ayah. Ya, dia diberikan pada orang lain sejak kecil. Aku langsung teringat Ibu pernah bilang bahwa Ayah pernah mau menjualku.
"Dua juta. Kamu waktu kecil mau dihargai dua juta sama Bapak kamu. Kamu mau dikasih ke orang. Dia nggak mau besarin kamu dan dia kira Mama nggak mampu besarin kamu sendirian." Seperti itu kira-kira perkataan Ibu.
Sebenarnya, banyak yang ingin kutanyakan pada Ayah, aku ingin tau cerita dari sisi Ayah. Kenapa mereka berpisah, kenapa Ayah tidak mengurus aku, aku juga ingin tahu bagaimana sifat ayah dan kesehariannya. Namun, yang kulakukan seharian hanya diam dan menurut kemana pun Ia membawaku pergi. Kemudian, waktu berlalu begitu saja bagaikan mimpi. Ia pergi lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan Puisi
General FictionHidup sangat terkait pada takdir. Seringkali orang-orang meminta kita untuk mengikuti aliran takdir yang ada. Berawal dari buangan di selokan Aku mengikuti kelokan sungai dan benturan bebatuan Aku yakin Laut lepas dan bebas itu Di sanalah aku berakh...