Kami tiba di Jakarta dan langsung menuju tempat yang kata Mama adalah tempatku dilahirkan. Jakarta Utara. Setelah berpindah kontrakan dua kali, kami pun merasa nyaman menempati sepetak kontrakan di sebuah gang bernama Gang Candra 1.
Jalan masuk Gang Candra 1 ditandai oleh sebuah jembatan kecil di mana kali mengalir di bawahnya dan di pinggir kali itulah kontrakan tempat kami tinggal berada. Gang itu adalah sebuah gang padat penduduk yang didominasi oleh orang Betawi dan Jawa. Setiap sore hari, akan ada anak-anak yang bermain di pinggir kali, atau pun menerbangkan layangan dari atas jembatan. Membuat jembatan yang kecil itu semakin sempit untuk dilalui.
Kontrakan kami yang setengah kayu itu berukuran sangat kecil, hanya sekitar 3x2 meter. Cukup untuk sebuah tikar anyaman dari plastik yang membuat cetakan-cetakan berpola di kulitku saat bangun tidur, sebuah rak untuk meletakkan buku-buku dan barang-barang kecil, dan kardus tempat menyimpan baju-baju. Mama meletakkan kompor minyak dan peti kayu berisi peralatan masak di luar.
Dengan dinding yang menyatu, kami bertetangga dengan keluarga penjual bakso. Sepasang suami istri dan seorang anak. Anak mereka bernama Rima. Karena Mama memanggil orang tua anak itu Pak'e Rima dan Buk'e Rima, aku pun ikut-ikutan memanggil mereka dengan julukan yang sama.
Setiap pagi, terutama di hari Minggu, aku menyempatkan diri untuk bertamu dan numpang menonton televisi di rumah itu. Bersama Rima dan Pak'e Rima yang membuat bola-bola bakso di ember kecil berisi air hangat, aku tak ketinggalan mendapat tontonan masa kecil.
Aku tidak bisa langsung melanjutkan sekolah di Jakarta. Bersekolah di Jakarta tidak semudah yang dikira. Proses masuknya begitu rumit. Namun, Mama begitu gencar berusaha. Di umur tujuh tahun lewat sedikit, aku bisa masuk ke SDN 08 Rawa Badak Selatan. Di sekolah itu, aku mengulang dari kelas satu lagi.
Aku hanya diantar ke sekolah, saat hari pertama masuk sekolah. Selanjutnya, aku berangkat sekolah sendirian sementara Mama pergi mencari uang sejak subuh. Kali ini, aku tidak perlu menyeberangi jalan raya. Hanya dengan melintasi pasar, sekolah sudah bisa terlihat. Tidak sulit bagiku untuk beradaptasi. Aku yang sebelumnya sudah pernah bersekolah di Cirebon, melesat secara akademik mendahui sebagian besar siswa di sana. Mama juga memberiku uang jajan yang cukup untuk mencicipi aneka olahan ringan yang dijajakan di depan sekolah. Tak ada masalah yang berarti bagiku.
Ya, bagiku si anak SD kelas 1 tak ada masalah yang berarti. Namun, sepertinya tidak untuk Mama. Sulit sekali untuk Mama mendapat pekerjaan. Sebatang kara di Jakarta Utara, Mama harus berjuang keras untuk mendapatkan uang yang cukup untuk kebutuhan kami sehari-hari. Untuk makan, bayar kontrakan, juga perlengkapan sekolahku, Mama rela melakukan banyak pekerjaan yang mungkin dihindari sebagian besar orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan Puisi
General FictionHidup sangat terkait pada takdir. Seringkali orang-orang meminta kita untuk mengikuti aliran takdir yang ada. Berawal dari buangan di selokan Aku mengikuti kelokan sungai dan benturan bebatuan Aku yakin Laut lepas dan bebas itu Di sanalah aku berakh...