Katanya, delapan dari sepuluh anak di Indonesia pernah menjadi korban perundungan. Alias bully. Tak seburuk itu jika aku mengingatnya sekarang, tapi kurasa saat itu memang cukup membuatku terpukul.
Jika kau ingin lanjut membaca memoar ini, kuharap kau bersedia membaca tanpa menghakimi. Jangan hakimi aku saat itu. Aku juga tidak ingin mereka para pelaku dihakimi. Biarlah ini jadi sebuah kenangan manis dari bagian pendewasaan diriku. Tentang kebodohanku, juga mereka.
Sepanjang ingatanku, sampai kelas 3 SD, aku baik-baik saja dalam bersosialisasi. Aku dipercaya menjadi ketua kelas saat itu. Kehidupan sekolahku baik-baik saja. Bersikap lugu sekaligus sok dewasa, menyayangi guru wali kelas saat itu, serta bersemangat mencari nilai. Bahkan, aku sempat mendapat peringkat 1 setelah sebelumnya naik turun di peringkat 3 hingga 5 besar. Sebuah memori yang bisa kubanggakan bahkan saat aku mengingatnya kembali saat ini.
Naik ke kelas 4, setelah kelas 3A dan dan 3B digabung, mulailah transisi yang tidak menyenangkan. Mungkin karena temanku bertambah banyak dan aku harus beradaptasi ulang. Mungkin juga karena ada perubahan pola pikir dalam masa akil balig. Bahasa gaul sudah cukup terkenal dan tren-tren terbaru menjadi budaya yang harus diikuti. Sayangnya, aku tidak mampu mengikuti itu semua. Pelan-pelan, aku merasa tersingkir.
Aku tidak tahu dari mana awalnya atau siapa yang memulai. Teman-teman mulai mengolok-olokku dengan sebuah nyanyian. Nyanyian yang berlirik, 'Bimoli, bibir monyong lima senti'.
Nyanyian ini bahkan tidak hanya kudengar di sekolah, beberapa teman di lingkungan rumah juga sering menyanyikan lagu ini setiap aku lewat. Ini memang sebuah nyanyian yang cukup lazim di daerahku. Biasanya, nyanyian ini dinyanyikan untuk seseorang yang berbibir tebal atau bergigi tongkos. Aku memiliki keduanya.
Gigiku memang sedikit maju ke depan dan bibirku cukup 'doer'. Ditambah lagi, tubuhku sangat kurus. Tidak seperti teman-teman perempuanku yang lain, yang pelan-pelan mengalami perubahan fisik menjadi semakin cantik seiring berjalan waktu. Sungguh, sepertinya fisikku saat itu adalah sesuatu yang membuat orang gemas ingin mengolok-olok.
Aku kesal. Aku bukan anak yang saat ditindas lalu diam saja dan menangis dipojokan. Aku jadi membenci sekitarku. Aku bahkan kesal pada orang-orang yang kuanggap teman tapi diam saja. Asumsiku liar, aku pun mulai merelakan satu-dua yang kuanggap dekat justru lebih dekat dengan orang lain. Kesal dan cemburu, akhirnya membuatku berubah.
Kurasa, dibanding aku memaksakan diri jadi cantik, lebih baik aku tomboi sekalian. Mulailah aku mengoleksi baju laki-laki. Bersikap kasar dan berusaha terlihat menakutkan. Jika ada teman sekelasku yang berbicara tidak enak, aku tidak segan-segan membalik mejanya atau melempar penghapus papan tulis. Aku ingin menunjukkan, tidak ada yang boleh semena-mena terhadapku.
Hal sepele seperti nyanyian Bimoli, ternyata membuatku menjadi orang yang berbeda bahkan hingga beberapa tahun setelahnya. Aku menjadi seseorang yang kusesali saat ini. Aku menjadi pribadi yang buruk, dan semakin buruk. Mama, menjadi pemicu setelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan Puisi
Fiksi UmumHidup sangat terkait pada takdir. Seringkali orang-orang meminta kita untuk mengikuti aliran takdir yang ada. Berawal dari buangan di selokan Aku mengikuti kelokan sungai dan benturan bebatuan Aku yakin Laut lepas dan bebas itu Di sanalah aku berakh...