Kasih Sayang Ibu Azka (2)

12 2 0
                                    

“Bagaimana kata dokter? Ada patah tulang?”

Azka menggeleng. “Kata dokter, kemungkinan tidak ada. Finalnya, masih menunggu hasil rontgen keluar. Aku baik-baik saja, Nita.”

Nita bangkit dan menyiapkan alat ukur. “Saya Nita, Ahli Gizi di rumah sakit ini. Saya minta izin untuk melakukan pengukuran tubuh Bapak, ya. Hasil pengukurannya nanti akan berguna untuk mengetahui nutrisi di tubuh Pak Azka sudah cukup baik atau belum," jelas Nita.

"Iya, Dok." Azka meledeknya lagi.

Nita menahan tawa saat mendengar panggilan itu. Azka tau betapa lelahnya Nita menjelaskan pada tiap pasien bahwa ahli gizi dan dokter adalah dua profesi yang berbeda.

Bahkan, Nita tidak bisa disebut dokter gizi karena dokter gizi dengan ahli gizi pun berbeda, walau keduanya memiliki kemiripan tugas dan bekerja sama dalam menentukan menu sehat pasien.

Setelah melakukan pengukuran tubuh dan melakukan wawancara singkat terkait keseharian dan pola makan, Nita menyudahi sesinya.

"Azka, aku khawatir kamu ada diabetes. Sementara kuresepkan menu untuk diabetes dulu, ya. Sudah tes darah, kan?”

“Oke, Beb,” jawab Azka. Nita membereskan barangnya dan bersiap pergi.

***

Rupanya, perkiraan Nita benar. Azka memang memiliki diabetes. Belum terlalu parah, jadi hanya dengan menu makanan yang sesuai dan perawatan dokter, diabetesnya bisa ditangani. Hari ini, Nita menjenguk Azka di ruangannya pada waktu senggang. Di samping ranjang Azka sudah terdapat wanita paruh baya yang Nita kenali sebagai Ibu Azka. Nita sudah beberapa kali melihatnya melalui foto, baru kali ini Nita bertemu langsung. Dengan sopan, Nita memperkenalkan diri.

“Oh, Nita. Azka sudah sering cerita tentang kamu. Wah, aslinya lebih cantik dari yang di foto, ya, Nduk,” ujar Ibu Azka. Nita tersipu malu mendengarnya. “Maaf ya, kalau Azka  sering manja. Azka itu manjanya cuma sama kamu. Dia terlalu baik sama Ibu dan adik-adiknya. Setiap ada masalah nggak mau cerita sama Ibunya.”

Azka menutup wajahnya dengan selimut. “Ibu jangan begitu, dong. Azka malu.”

Perbincangan kemudian berlangsung hangat dan menyenangkan. Namun, Nita melihat tubuh Ibu Azka kurang sehat. Ibu Azka sering tidak fokus, tubuhnya kecil, dan ada pembengkakan di beberapa bagian tubuhnya. Setelah Ibu Azka pulang, Nita mencoba mengungkapkan apa yang ia pikirkan sejak tadi.

“Sayang, Ibu kalau di rumah pola makannya bagaimana?”

Azka duduk dan menjawab, “Biasa saja. Kadang Ibu masak, kadang beli makanan di luar. Tergantung mood adik-adikku. Aku sih selalu makan di tempat kerja. Kenapa, Beb?”

“Sepertinya Ibu kurang gizi,” ujar Nita.

Mendengar itu, wajah Azka langsung berubah. “Kok kamu tega sih, Nit. Kamu kan tahu bagaimana aku bekerja keras untuk Ibu dan adik-adikku. Aku memastikan mereka tidak hidup kekurangan. Masa, kurang gizi?”

Nita berusaha menjelaskan. “Aku hanya melihat dari pengamatanku. Ibu sepertinya kekurangan protein dan vitamin.”

“Nita, orang tua fisiknya memang begitu. Jangan bicara yang tidak-tidak. Aku jadi kesal.”

Membaca raut wajah Azka, Nita tidak mau berdebat lebih lanjut. Pembicaraan pun berhenti sampai di situ.

Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan PuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang