Bukti Bangkitku

20 3 0
                                    

Curahan hati menumpuk dalam kalimat-kalimat di notesku. Beberapa tulisan itu kuunggah ke platform media sosial. Menulisnya bukan hal mudah, karena ada luka hati terbuka kembali. Beberapa orang menjadi simpati, beberapa lagi merasa ini bisa menginspirasi, sedangkan aku menuliskannya untuk menghargai apa yang sudah kujalani.

Tubuhku gemetar setiap luka itu terunggah dan muncul ke publik. Namun, aku tetap menulisnya setiap keresahan mendera jiwa. Sampai sebuah tulisanku menggugah seseorang yang kuanggap mentor tanpa berstatus mentor.

"Tulisannya bagus. Coba kamu buat tulisan seperti ini yang lebih teratur dan terstruktur. Saya tunggu realisasinya," tantangnya.

Aku tertantang. Aku juga ingin mencoba. Aku juga sudah pernah berkeinginan seperti itu sebelumnya. Akan tetapi, ingatan yang berserak seperti kepingan mainan bongkar pasang, kekhawatiran akan pandangan pembaca, kebingungan akan poin yang boleh dan tidak boleh dituliskan, juga setiap tokoh yang begitu membekas masih hidup dan berhubungan baik, menjadi suatu hambatan yang besar bagiku.

"Banyak orang yang bisa memetik hikmah dari kisah itu. Jangan risau dan berburuk sangka. Mulai dari langkah pertama dulu. Kalau langkah pertama belum dijalani mengapa merutuki hasil yang belum pasti?" ucapnya meyakinkanku.

Tubuhku gemetar lagi karena seseorang ini begitu frontal mendukungku. Aku seperti diarahkan kembali ke jalur utama setelah sebelumnya memilih jalur lain dan tersesat. Perutku mulas karena antusiasme dan rasa khawatir berpadu di dalamnya. Namun, pada akhirnya aku pun memulai.

Seperti dugaan, dari langkah pertama saja bukan hal yang mudah. Tak semudah jika aku membuat tulisan fiksi. Aku membongkar isi kepalaku dan mendatanya satu per satu. Jantungku berdebar keras setiap kali kata-kata yang memuat fakta itu kutuliskan.

Sampai tadi siang, membongkar isi kepalaku masih terasa seperti membuka jahitan luka. Air mataku seperti melakukan konfrontasi. Kenangan masa lalu ditambah konflik yang ada saat ini, membuatku sesak. Aku pun menyadari, selama ini aku belum bangkit dari masa lalu itu. Aku mencampur aduk luka seperti mengaduk masakan dengan bumbu yang tak sesuai. Pahit. Getir. Asam. Memuakkan. Bukan ini yang harusnya kurasakan.

Seorang teman berkata, "Lakukan dengan mindfull (menerima penuh sebuah situasi) maka akan lebih mudah dijalani."

Dia benar. Aku membuat yang buruk itu semakin buruk karena aku terlalu banyak menghakimi. Aku menghakimi diriku sendiri, keadaan, juga masa lalu. Padahal, apapun yang kualami saat ini tidak ada hubungannya dengan lukaku di masa lalu.

Kukira, aku sudah sepakat dengan diriku sendiri untuk membuat masa lalu itu sebagai motivasi. Kemudian, mengapa aku malah menjadikannya beban di masa kini? Aku terpuruk pada menu yang sudah basi. Bukan ini yang kuharapkan dari diriku. Aku harus bangkit yang benar-benar bangkit.

Aku mulai membuka kembali daftar tulisan itu. Dari kepalaku, aku menganggap masing-masingnya seperti melepaskan sebuah balon. Satu luka kutuliskan, satu juga luka yang terbebas. Aku membayangkan, saat kumpulan tulisan ini selesai, aku sudah melepaskan sebuah balon udara yang sangat besar dan lukaku pergi bersamanya. Ketika aku membuka kembali hasil tulisan ini, aku akan tersenyum karena tulisan inilah bukti bangkitku.

Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan PuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang