Saya menyukai dunia seni. Tanpa kecuali. Salah satunya, dunia teater. Saya pernah tergabung dalam sebuah kelompok teater dan di sana kemampuan seni peran saya lumayan terlatih.
Jauh sebelum mengenal dunia teater, saya sudah sering berakting sejak kecil. Apa ya, sinonim akting? Ah... pura-pura. Ya, saya sudah sering berpura-pura sejak kecil. Misalnya, pura-pura tidur siang agar terhindar dari amarah Mama. Juga, pura-pura belajar di kelas padahal baca komik. Harus kuakui, kemampuanku berpura-pura, lumayan membantu keseharianku.
Salah satu hal yang sering kulakukan saat kecil adalah pura-pura simpati pada kesulitan orang lain. Dalam hal ini, adalah kesulitan yang menurutku sangat remeh. Kesulitan yang bagiku tidak ada apa-apanya dibanding kesulitan yang kualami.
Misalnya, suatu hari ada seorang teman yang bercerita, "Aku kesel sama adikku. Kami selalu berebut remot TV karena tayangan favorit kami berbeda."
Remeh sekali. Dia merasa sangat-sangat kesulitan, hanya karena berebut remot TV? Dia tidak tahu aku bahkan tidak punya TV. Lebih lagi, aku justru sangat berharap memiliki saudara yang bisa diajak bertengkar hal sesepele berebut remot TV. Lebih serakah lagi, aku harap beban hidupku hanya sekedar berebut tayangan televisi. Namun, aku berpura-pura simpati. "Ya ampun, pasti kamu kesel banget, ya."
Seiring bertambah usia, kepura-puraanku bersimpati semakin mendarah daging. Meresap dan menyatu dengan karakter asliku. Kini, aku bahkan mudah menangis, pada kesulitan-kesulitan orang lain. Tak peduli walau saat itu aku sedang dilanda kesulitan yang lebih besar. Mungkin ini yang dimaksud, kebiasaan bisa berubah menjadi karakter.
Entah karena terbiasa berpura-pura simpati selama bertahun-tahun, atau karena pendewasaanku benar-benar sudah mengerti bahwa setiap orang memiliki rasa sakitnya sendiri. Tak peduli seberapa kecil, rasa sakit tetaplah sakit. Bahwa, setiap orang memiliki daya tahannya masing-masing. Juga, bahwa aku merasa sedih saat orang lain meremehkan kesulitanku padahal aku tidak yakin mereka sanggup jika ada di posisiku. Aku bersimpati pada mereka yang harus merasakan sakit itu, dan aku bersyukur bahwa aku memiliki daya tahan yang baik.
Dulu, aku berpura-pura simpati. Kini, aku bahkan sulit berpura-pura abai. Aku kesulitan menahan marah jika ada yang meremehkan kesulitan orang lain. Aku kesulitan berpura-pura simpati, karena aku terlalu sering berlatih "pura-pura simpati".
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan Puisi
General FictionHidup sangat terkait pada takdir. Seringkali orang-orang meminta kita untuk mengikuti aliran takdir yang ada. Berawal dari buangan di selokan Aku mengikuti kelokan sungai dan benturan bebatuan Aku yakin Laut lepas dan bebas itu Di sanalah aku berakh...