Anak Penjual Koran

21 4 0
                                    

Usia Mama 40 tahun. Mewarisi darah Melayu Palembang, kulit Mama berwana kuning langsat cenderung putih. Warna kulit yang dianggap cantik oleh kebanyakan orang. Rambut Mama bergelombang dan sorot matanya bersinar. Namun, tubuh kurusnya yang bawaan genetik itu, terlihat semakin kurus karena tempaan kerasnya kehidupan.

Jakarta adalah kota yang keras. Tak mudah bagi Mama mendapatkan pekerjaan di sini jika yang dimaksud adalah pekerjaan dengan gaji tetap. Berbekal keteguhan dan paksaan kebutuhan, Mama melakukan apapun untuk mendapatkan uang. Walaupun, uang yang dihasilkan tidak menentu tiap harinya.

Sejak subuh, Mama sudah berangkat ke Semper. Tempat seorang temannya yang agen koran, berada. Mama mengambil beberapa koran Harian Terbit, Pos Kota, Lampu Merah, Kompas, dan berbagai koran lainnya. Mama juga membawa sedikit majalah sebagai pelengkap. Koran dan majalah itu, Mama jajakan di atas metromini 41 jurusan Tanjung Priok - Pulo Gadung atau metromini 07 jurusan Senen - Semper. Sore hari Mama menyetorkan koran sisa dan mendapat upah dari koran yang terjual. Keuntungan dari tiap korannya adalah dua ratus rupiah.

Di depan Pasar Kaget, Jl. Plumpang Semper, Mama naik turun dari satu metromini ke metromini lain yang memangkal. Naik dari pintu depan metromini, Mama akan berjalan pelan dan menawarkan koran ke setiap penumpang yang duduk, lalu turun melalui pintu belakang.

"Kompasnya, Pak! Kompas, Pos Kota, Harian Terbit! Korannya koran! Korannya Koran!" ucap Mama keras dan sedikit berteriak. Terutama, jika berbarengan dengan penjual makanan dan pengamen.

Sesekali aku menemani Mama menjajakan koran. Sedikit menyusahkan karena Mama harus menggandeng tanganku sementara tangan satunya membawa sejumlah koran yang dijajakan. Belum lagi, dengan celah antara kursi penumpang di kanan dan di kiri yang tak terlalu lebar, keberadaanku membuat metromini itu jadi lebih sesak.

Mama pernah membuka lapak koran. Sebentar di depan Pasar Kaget, sebentar juga di pinggir simpang lima Semper. Lapak koran Mama di simpang lima Semper, terletak di antara Jalan Plumpang Semper dan Jalan Raya Tugu, tepat di samping pangkalan becak. Aku ingat ada masanya aku tidur di atas meja lapak yang harusnya menjadi tempat pajangan koran. Aku terbangun saat langit berwarna jingga lalu menangis karena Mama tidak ada. Jadilah, abang-abang becak kebingungan dan berusaha menghiburku. Seseorang bahkan membelikanku cemilan. Rupanya, Mama hanya pergi untuk menyetorkan koran karena sudah waktunya pulang.

Mama membuka lapak hanya sebentar. Memang, berjualan dengan lapak tidak terlalu melelahkan. Tidak harus berteriak-teriak. Tidak harus membebani lutut dengan kegiatan naik turun metromini. Tentu saja kemungkinan kecelakaan karena jatuh dari metromini pun kecil. Namun, membuka lapak itu merugikan.

Saat berjualan di lapak, ada saja orang-orang yang menumpang baca tanpa membeli. Koran yang sudah dibuka-buka pasti tidak lagi terlihat baru. Bahkan terkadang terlalu kusut hingga tak layak jual. Karena agen koran tidak mau menerima koran yang kusut itu, Mama pun harus menggantinya. Padahal, keuntungan dari penjualan saja tidak seberapa.

Walaupun hasil berjualan koran tidak seberapa, Mama cukup lama bertahan di sini. Mama bilang, aku adalah pembawa rejeki. Mama juga bilang, kesulitan ini cuma sementara.

"Mama menyekolahkan kamu, supaya kamu nggak jadi seperti Mama nantinya. Jangan sampai seperti Mama," jelasnya.

Mengalir Dalam Riak - Antologi Cerpen dan PuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang